Loading...

Gadis Bergigi Gingsul

Add Comment

Dwi Andri Yatmo“Lek, gadis yang giginya gingsul itu cantiknya nambah ya,” ujar Soni di angkringan depan kontrakan.

“Hu’um Lek. Manis dan cantiknya nambah,” jawabku sekenanya.”Tumben bahas gadis gingsul?”

“Hahaha,” sahut Soni salah tingkah. “Mantanku sing terakhir yo gingsul Lek, hehe.”

Ooohh kelingan mantan ceritane.”

Obrolan ringan malam ini ditemani secangkir kopi dan segelas soda gembira. Entah mengapa akhir-akhir ini aku selalu ingin minum soda gembira. Seolah bisa membuat tubuh ini jadi enteng dan segar. Ya mau itu hanya sugestiku belaka. Badjingan memang.

“Kalo semisal kowe diundang nikahane mantan, kowe piye Lek?”

Yo tekolah.”

“Kuat kowe lek?”

Lek,tak kandani yo. Wis kodrate wong sesama muslim nak diundang wajib teko. Bedo nak semisal kowe ora diundang ujuh-ujug ngamuk rak karuan nek nikahane mantanmu. Iku sing ora oleh. Lha nak masalah kuat orane iku lak urusan keri to Lek.

Soni hanya mengangguk-anggukkan kepala. Entah mudeng atau tidak. Ambigu.

Lha opo mantanmu meh nikah?

Ameh Lek.”

“Berarti durung. Wong lagi ameh.”

“Kan yo kemungkinan besar tetap nikah.”

Lha kowe kok sing nyolot ngunu. Sih seneng po?

Oooorrraa…….aaakklah.”

Heleh telek kucing. Ngomong wae sih seneng.

Hehe. Sitik Lek. Jebule kroso nyesele keri Lek. Mbiyen ditakoni bapake aku jawab mundur. Nak tak jawab yakin ngunu palingan statusku orak kyok kowe.

Sayange kok ora kedadean yo. Mung angan-anganmu tok.

Hahaha. Kami tertawa bersama. Menertawakan kisah asmara kami yang rumit dan pahit.

Jane to Lek. Kuncine ki mung siji,” aku menepuk pundak Soni.

“Opo?”

“Yakin.”

“Kok yakin?”

“Innamal a’malu binyaqin. Kabeh kuwi didelok kowe yakin tah orane. Kowe pedot karo mantanmu lak mergo kowe orak yakin karo awakmu dewe? Yo ora? Tapi di satu sisi, kadang yo enek sing pedot mergo wedoke orak yakin karo kowe. Ngunu kuwi okeh jenise. Kari sing ora yakin sopone.

Bisa dikatakan putus asmaranya Soni yanh terakhir lantaran tidak yakin dengan dirinya sendiri. Situasi yang belum wisuda-wisuda membuatnya harus mundur. Walau bisa dikatakan sedikit pengecut juga. Lha nyatanya sekarang dia menyesali pilihannya waktu itu. Menungso memang panggone sambat.

“Lek Soni, tak kandani yo. Iki ilmu soko Ustad Tanto Termehek-Mehek, move on iku orak melupakan. Tapi bagaimana cara kita mengikhlaskan.”

Iku omongane Ustanto?

Aku hanya mengangguk,sembari menuangkan tetesan soda terakhir ke gelas.

“Wong kae yo podo wae. Omongane guedi-guedi. Sok bijak. Tapi galaune setengah modyar karo mantane Ida. Telek minti Tad,” umpat Soni.

Kowe karo bocah siji kae lakyo kembar masalah mantan karo galau. Cocok nak semisal curhat-curhatan.

Wis pokoke tahun iki (2018) opo tahun ngarep aku meh nikah.

Hampir aku keselek es batu di gelas yang ku minum mendengar ucapan Soni barusan.

“Yakin?” tanyaku memastikan.

“Yakinlah!”

“Maksudku kuwi yakin enek sing gelem? Ha ha ha”

“Ooo..konco cap taek!”

Kita lihat saja apakah itu terwujud? Wallahu alam.

Pesona Seorang Perawat

Add Comment

Dwi Andri Yatmo - “Kau tahu Lek, beberapa hari lalu aku dikenalkan dengan seorang perawat. Sudah pegawai negeri pula. Aku kudu piye Lek?” keluh Soni di hadapanku. 

Bedebah memang anak satu ini. Jika kalian pernah membaca tulisanku sebelumnya yang ini. Tentu kalian bisa memaklumi umpatanku barusan. Jika mendengar kata perawat, aiihhh, seolah-olah hanya angan-anganku belaka. Jadi, dulu kala, aku pernah berkeinginan memiliki pacar seorang perawat. Tetapi sampai tulisan ini jadi pun belum pernah sekalipun itu terwujud. 

Kembali lagi ke persoalan pelik tadi. Agaknya Lek Soni bimbang akan pilihan yang harus diambil. Lanjut atau tidak, begitu versi sederhananya. 

Kowe yo kudu maju. Eman-eman kalo mbok lepas. Belajarlah dari dua kesalahanmu di masa lalu. Bahkan yang terakhir masih berdampak buruk sampai saat ini. Wajah penyesalanmu itu tidak bisa kau sembunyikan.” 

Soni hanya menyengir kuda. Ya mungkin sedikit menohok omonganku. Tapi terkadang kita memang harus memberikan pil pahit kepada orang yang kita pedulikan. 

“Aku sih wedi kok Lek. Nyawang awakku dewe wae isih ngene. Orak level karo bocahe sing wis pegawai negeri. Aku hanya remah-remah rengginang Lek.” 

Sing mbok takutkan itu lho opo?” 

“Jasik, bapaknya seorang polisi Lek. Ibunya seorang guru sekolah dasar. Lha aku iki opo to Lek?” 

Sulit memang berbicara percaya diri pada orang yang umurnya sudah kelewat untuk sekadar pacar-pacaran. Sudah tidak pantas. Tetapi bukankah cinta tidak memandang usia atau umur? Aaahh ribet. 

“Aku lakyo keder to Lek.” 

Aku hanya menepuk pundaknya sebagai rasa empati. Berat memang. Jika selalu status sosial dan ekonomi dijadikan patokan dan panutan. Tapi ya memang begitu adanya bukan? Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak terkecuali untuk masalah pasangannya. 

“Kita senasib Lek,” batinku menambahi. 

Semilir angin malam menerpa. Mengabarkan bahwa dingin mulai menyambut. Aku seruput kopi hitam sebagai teman obrolan dua orang yang tak paham tentang dunia percintaan. 

“Sepertinya ada yang salah di hidup kita deh Lek,” ujar Soni sembari menyesap kopi miliknya. 

“Kita?” sambarku refleks.”Kamu sendiri kalee Lek, haha.” 

Kami tertawa bersama. Ya, menertawakan diri sendiri yang sebenarnya tidak paham yang salah di bagian mana. 

“Harusnya kita itu sudah tidak membahas pacar-pacaran. Gebetan. Bingung nembak cewek. Itu masa sudah terlewatkan untuk kita yang umurnya sudah segini. Harusnya obrolan kita itu, gimana kabar anakmu? Istrimu gimana sudah tekdung lagi? Ada keinginan nambah momongan? Istri mau nambah gak?....” 

Ha ha ha. Lagi-lagi kami tertawa. Aneh memang membayangkannya. Tetapi itulah yang seharusnya kami bahas saat ini. Oh Tuhan, beri petunjuk hamba-Mu yang menyedihkan ini. 

“Satu saja kesulitan. Sok-sokan nambah. Lagian to Lek, kamu curhat juga salah tempat. Curhat kok sesama tuna asmara. Kita itu curhatnya ke Lukman, yang notabene sudah jadi bapak sekaligus suami. Pengalaman asmaranya lebih banyak daripada kita ini. Mantanmu saja bisa dihitung jari, lha dia? Entah sudah berapa sekian. Dirimu saja mantan baru 2 move on setengah mati.” 

Modyar. Kuapokmu kapan, ha ha ha. 

Telo kowe Lek. Malah mbok umbar kabeh ngunu.” 

Tiba-tiba terdengar bunyi nada dering. 

Atiku rasane loro 

Nyawang kowe rabi karo wong liyo 

“Djiancuk nada dering hapemu kok makjleb ngunu koyok sing duwe,” kagetku sembari ingin tertawa.“Lek tak kandani yo jare wong-wong tuwo. Bojo kuwi durung tentu jodo, tapi nak jodo mesti dadi bojo. Paham ora?” 

“Ora usah gusar nak ditinggal rabi karo mantan. Haruse kowe ki bangga.” 

“Lha kok iso kudu bangga Lek?” tanyanya heran 

“Yo bangga, karena selama ini kamu menjaga jodoh orang lain,ha ha ha” 

Oooh ncen djiancuk,” umpatnya kemudian disambung gelak tawa. 

Indahnya malam ini.

Kembalinya dwiandriyatmo.web.id

Add Comment

Dwi Andri Yatmo - Sebenarnya saya bingung harus memulainya dari mana, hahaha. Sudah berabad-abad rasanya saya tidak menulis lagi di sini. Dan tentunya statistik pengunjung blog ini juga menurun dan semakin menurun, hiks hiks. Tetapi ya mau bagaimana lagi (tetap optimislah).

Oh iya, kenapa kok judulnya kembalinya domain blog ini? Oke, baiklah saya akan sedikit bercerita ke belakang.

Dulu pertama kali saya ngeblog dikenalkan oleh salah satu teman yaitu Lukman. Lewat bantuan dia juga akhirnya saya membeli domain web.id dengan menggunakan nama lengkap saya. Akhirnya terbelilah domain yang sekarang ini. Dahulu masih menggunakan wordpress dan bertahan selama beberapa tahun. Hingga negara api menyerang.

Saat itu pengunjung blognya bisa dikatan lumayan. Hingga beberapa masalah mulai menerpa di dunia nyata. Banyak ujian yang harus dihadapi. Mulai dari ujian dalam pekerjaan sampai ke masalah asmara (eh malah curhat). Semua sungguh menyita waktu dan membuat domain ini terbengkelai.

Imbasnya, saya sudah tidak peduli dengan blog ini. Menengok sajapun tidak pernah. Dan, bisa ditebak hingga jatuh tempo untuk perpanjangan domain inipun harus saya lewatkan. Ogah untuk saya perpanjang. Satu dan lain hal yang mendasari.

Akhirnya domain ini tidak tersedia untuk beberapa tahun, karena masih dipegang oleh pihak penjualnya. Dulu saya mikirnya, "ah, mungkin setahun bisa dibeli lagi."

Dan kalian tahu apa yang terjadi?

Harus menunggu dua tahun, tepatnya kemarin saya baru bisa membeli ini domain lagi. Mungkin si penjual awalnya sudah mendapatkan hidayah untuk melepas ini domain jadi available. Alhamdulillah.

Dan, eng ing eng.....akhirnya dwiandriyatmo.web.id bisa mengudara kembali. Yah, meskipun tidak seperti awal kelahirannya menggunakan wordpress. Tetapi tidak masalah.

Bukankah yang terpenting itu kemauan kita untuk tetap menulis dan menulis.

Dan semoga dengan kembalinya domain -ya cukup bersejerah menurut saya sendiri- ini bisa memacu saya untuk selalu menulis kembali. Aamiin.

Salam Catatan Kecil Anak Petani


Kenapa Spanduk Warung Pecel Lamongan Menggunakan Kain

Add Comment

Dwi Andri Yatmo - Gerimis belum beranjak sejak sore tadi. Rasanya enak bermalas-malasan di kamar kos-kosan sambil bermain Mobile Legends atau AOV (siapa tahu ketiban pulung dapat 7 M). Tapi perut sepertinya tidak bisa diajak kompromi. Walhasil, meski gerimis masih awet, saya pergi menyusuri sekitar jalan Hasanudin untuk mencari makan.

Sebelumnya, di Jalan Hasanudin, dulu saya pernah menulis tentang Soto Barokah Pak Slamet dan Nasi Goreng Padang.
Kendaraan masih berlalu lalang di jalan yang terdapat genangan air di beberapa sudutnya. Kondisi ini kadang membuat pejalan kaki kecipratan air oleh kendaraan yang tidak punya etika. Bedebah memang.
Perjalananku mencari makan akhirnya terhenti di sebuah warung pecel lele. Laiknya warung-warung khas Lamongan yang memajang spanduk besar, Warung Podo Nduweni Lamongan “Abdul Rozak” Nasi Uduk persis tak berbeda. Panjang nian nama warungnya, batinku. Letaknya di depan gedung Primagama Hasanudin.
Warung ini menggunakan gerobak dengan tenda orange. Mencolok memang. Tempatnya diapit antara dua pohon angsana besar. Sementara sebelahnya, terdapat tempat lesehan meski tidak besar.
Sudah bisa ditebak dari namanya, menu andalan Warung Podo Nduweni adalah nasi uduknya. Tentu saja warung ini juga memberikan pilihan nasi biasa bagi mereka yang tidak begitu suka nasi uduk seperti saya.
Saya harus menunggu beberapa menit sampai lauk pesanan saya selesai digoreng. Tempat lauknya dipisah menggunakan cowek. Tempat yang biasa emak gunakan untuk sambel.



Lele + Sambel Sedeng
Lele + Sambel Sedeng | © Dwi Andri Yatmo

“Sambelnya piye Mas, pedes atau sedeng?”
Lagi-lagi saya ditanya perihal sambel. Warung Podo Nduweni menyediakan dua jenis sambel. Bagi mereka yang suka pedas, bisa memilih sambel pedas. Sambel yang menurut saya disebut sambel brambang. Sedangkan bagi yang tak suka pedas, ada sambel trasi yang ditambahi kacang tanah. Kalian juga bisa memadukan dua jenis sambel ini.
Seorang bapak-bapak sibuk membantu menggoreng lauk-lauk pesanan pembeli. Sepertinya suami dari ibu-ibu tadi. Mungkin dia yang bernama Abdul Rozak, selaku pemilik.
Di luar gerimis belum berhenti. Lauk, nasi dan teh anget sudah siap disantap. Kursi sudah mulai kosong.
“Kok nama warungnya Warung Podo Nduweni Bu?” Saya bertanya pada ibu pemilik warung.
“Saya sudah berjualan di sini puluhan tahun, Nang,” beliau memanggil saya dengan sebutan Nang. Bagi orang kampung, Nang singkatan dari anak lanang. Sapaan untuk mengakrabkan diri.
“Ya warung ini juga warung mereka juga. Podo nduweni, sama-sama memiliki. Antara penjualnya dengan pembelinya. Kalau mereka tidak merasa memiliki di sini mana mau mereka membeli dan langganan, hehehe.” Saya ikut tersenyum. “Intinya saling memiliki. Saya dan mereka (pembeli) sama-sama memiliki warung ini”.



Menu Lauk
Menu Lauk | © Dwi Andri Yatmo
Menu Lauk
Menu Lauk | © Dwi Andri Yatmo

Oh iya, saya sampai lupa menceritakan menu-menu lauknya. Warung pecel ini menyediakan beberapa menu antara lain bebek, ayam, kepala ayam, ceker ayam, burung dara, rempelo ati, lele, bandeng presto, gurame, mujair, dan pindang (gereh). Ditambah pete dan terong sebagai lalapan tambahan.
Saya bertanya tentang rasa penasaran saya: kenapa hampir setiap warung lamongan memakai spanduk kain dengan tulisan yang dilukis. Anggap umumnya seperti itu.
“Spanduk seperti ini dipakai sebagai ciri khas warung Lamongan, Jawa Timur. Ibarate sebagai identitas bagi warung Lamongan satu dengan lainnya.”
Oh begitu, berarti penggunaan spanduk yang seragam inilah yang dijadikan sebagai identitas mereka. Mungkin bagi pecinta bola Indonesia, tak asing jika para suporterPersela Lamongan, LA Mania, membawa atribut dengan tulisan Warung Pecel Lele Lamongan. Ya, siapa tahu ke depan warung pecel lamongam bisa tersemat di kaos punggawa Persela. Kan eksotik.
“Itu yang bantu-bantu jualan siapa Bu?”
“Oh itu ponakan-ponakan di kampung, Nang. Saya mintai tolong bantu-bantu di sini. Daripada mereka di kampung tidak sekolah mending saya ajak kerja di sini. Daripada nganggur di kampung.”
Ini yang selalu saya suka dari para pengusaha. Mereka mendirikan usaha bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kemaslahatan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Salah satunya menyediakan lapangan pekerjaan. Mengangkat derajat perekonomian bersama.



Bu Abdul Rozak, selaku pemilik warung
Bu Abdul Rozak, selaku pemilik warung. | © Dwi Andri Yatmo

Saya teringat unen-unen Jawa: “urip itu urup”. Hidup itu bisa menerangi kegelapan sekitarmu. Bermanfaat untuk sesama. Jadi, sukses bukan masalah seberapa banyak kamu punya harta. Tapi seberapa banyak kamu bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitarmu.
Oh iya, jika kalian ndilalah kok ya lagi selo mampir di Semarang tak ada salahnya mampir ke sini. Selain banyak menu yang tersedia, masalah harga juga masih wajar kok, terjangkaulah untuk anak-nak mahasiswa juga. Yang sedang pedekate sama gebetan tak ada salahnya coba ajak makan ke sini. Ya, siapa tahu setelah ngemplok sambel di sini kebimbangannya hilang dan langsung menerima kamu sebagai teman terbaiknya. Saya jamin itu, asal kalian mampir ke sini ngajak saya juga haha.
Warung Pecel Podo Nduweni buka mulai jam 5 sore sampai habis.
Agaknya banyak yang harus saya renungi selepas makan di sini. Terutama karena gajian masih lama dan isi dompet yang sudah nangis-nangis.

Sate Pentol : Bahagia itu Sederhana

Add Comment
Dwi Andri YatmoTulit...tulitt...tulittt....Suara tersebut saya yakin sudah familiar di telinga orang pedesaan atau kampung. Suara yang seolah dinanti oleh anak-anak kecil. Itu adalah suara dari alat yang dipakai oleh penjual sate pentol. Tahu sate pentol? Tidak tahu?

Sate pentol itu seperti bakso. Tetapi bukan bakso. Kalau bakso dalam komposisinya menggunakan daging. Sedangkam di pentol itu hanya menggunakan tepung kanji. Walau ada beberapa penjual yang memberikan isi telor puyuh atau sedikit daging di dalammnya.

Masih bisa dijumpai para penjual ini menjajakan pentol di sore hari. Rata-rata masih menggunakan sepeda untuk berjualan. Ada juga sih yang menggunakan sepeda motor, seiring mengikuti perkembangan jaman. Meski jumlahnya sudah tidak sebanyak sewaktu saya masih kecil.

Salah satu yang masih berjualan adalah Pak Bagong, begitu orang memanggilkan. Entah siapa nama asli bapak satu ini. Kehadirannya selalu dinanti setiap sore. Dengan suara khasnya tulit..tulit...tulit.
Pak Bagong, penjual sate pentol | Foto : Dwi Andri Yatmo
Beliau sudah berjualan kurang lebih 1 tahunan. Sebelum berjualan pentol, Pak Bagong dulu merantau ke Kalimantan bersama istri dan anaknya. Setelah beberapa tahun kembali lagi ke Jawa. Dan akhirnya memutuskan untuk berjualan pentol. Informasi tersebut saya dapatkan dari tetangga yang juga sering beli pentolnya.

"Kenapa sih Pak memilih berjualan pentol?"tanya saya ketika membeli. Kebetulan Pak Bagong ini sering mangkal di depan rumah orangtua saya. Dan anak-anak yang hendak mengaji biasanya berhamburan mengerumuninya ketika datang.

"Niatnya ya berjualan untuk menafkahi keluarga. Selain itu juga untuk menebarkan kebahagiaan untuk anak-anak kecil di wilayah ini."
Sate pentol Pak Bagong | Foto : Dwi Andri Yatmo

Sambal kacang, kecap dan caos | Foto : Dwi Andri Yatmo
Saya sempat tertegun mendengar jawaban dari Pak Bagong. Kebahagiaan? Apa hubungannya dengan sate pentol?

"Sewaktu kecil saya juga sering beli sate pentol. Waktu itu bisa beli sate pentol adalah kebahagiaan di waktu sore hari. Tetapi sekarang ini kok sudah jarang yang berjualan. Saya tidak ingin profesi tersebut hilang. Lihat wajah-wajah anak kecil ketika membeli."

Saya pun melihat wajah-wajah anak kecil tersebut. Merek senang. Bahagia, meski hanya membeli dan memakan sate pentol.

"Memang mereka tidak tahu bahagia itu apa. Yang mereka tahu bisa beli jajan itu sebuah kesenangan. Itulah makan bahagia sebenarnya. Bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini. Ya contohnya bisa beli sate pentol. Bahagia itu pada dasarnya sederhana. Kitalah yang sebenarnya membuay rumit. Dengan segala kriteria tetek bengek duniawi."
Pak Bagong sedang melayani pembeli anak-anak | Foto : Dwi Andri Yatmo
Saya seolah dibukakan sebuah pengertian yang baru dalam memahami apa itu bahagia. Memang benar kata Pak Bagong, bahagia itu sederhana. Bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini. Tidak memaksakan keinginan diluar kemampuan kita. Salah satunya bisa menyantap sate pentol di sore hari.

Oh iya lupa, harga sate pentol di Pak Bagong 1.000 rupiah dapat beberapa pentol. Karena sekarang wadah pentol sudah pakai plastik. Ketika kecil dulu, beli pentol itu ya pakai sunduk dari bambu gitu.

Salam puinuk!

Fenomena Bakso Beranak

Add Comment
Dwi Andri YatmoBeberapa waktu lalu sempat heboh kuliner bakso beranak di desa saya. Hal ini karena sedang boomingnya tentang bakso beranak di media sosial dan media televisi. Viralnya pemberitaan tentang varian bakso yang terbilang abnormal ini membuat para penjual bakso ngalab berkah dengan tren ini.

Secara sekejab semua spanduk penjual bakso berganti baru. Tidak lupa ada kalimat Bakso Beranaknya. Hmapir semua mengikuti fenomena tersebut. Apakah salah? Tidak. Tidak ada yang salah ketika sebagai penjual mau tidak mau harus mengikuti tren yang sedang terjadi. Kalau tidak mau ditinggalkan pembeli atau dicap kurang up to date.
Bakso Beranak | Foto : media.travelingyuk.com
Kenapa disebut bakso beranak? Karena di dalam bakso ada bakso lagi. Diibaratkan bakso yang di dalam bakso itu adalah anaknya. Walau masih rancu siapa yang menghamili itu bakso hingga hamil dan beranak pinak, haha.

Fenomena seperti ini sebanarnya bukanlah yang pertama kali terjadi. Kembali beberapa tahun belakang, masih ingat di dalam pikiran kita betapa mewabahnya fenomena Es Krim Pot. Gegap gempitanya seheboh seperti yang terjadi saat ini. Semua berlomba-lomba menyediakan menu es krim pot. Lambat laun muncul varian-variannya, mulai dari Es Krim Kuburan sampai Es Krim Mantan.
Es Krim Pot | Foto : www.tokomesin.com
Apakah tren kuliner seperti ini akan bertahan lama? Sayangnya hal tersebut tidak bisa bertahan lama. Karena pada dasarnya fenomena tersebut booming karena RASA PENASARAN. Bukan karena kualitas dari produk tersebut. Jadi jangan heran, ketika sesuatu tren booming maka jangan heran pula seketika redup bahkan hilang. Kecuali ada nilai tambah (add value) yang ditambahkan di dalma produk tersebut.
Es Krim Kuburan | Foto : www.kulinersehat.com
Kalau saya pribadi untuk bakso tidak begitu suka. Emak saya yang paling suka bakso. Kalau bukan membelikan beliau, saya juga tidak membeli bakso yang entah siapa bidannya kok bisa beranak, hehe. Ada perbedaan memang, kalau bakso biasanya hanya 8.000 rupiah. Untuk varian satu ini dihargai 12.000. Dan tentu hal tersebut berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.

Entah tren apalagi setelah bakso beranak ini hilang. Bisa jadi muncul bakso bidan, bakso dokter, bakso keguguran, atau bakso-bakso lainnya.

Sekali lagi, jika sebuah produk hanya dibeli karena sebatas PENASARAN. Jangan berharap bertahan lama atau eksis. Karena ketika sudah terpuaskan atau terpenuhi penasaran tersebut, kebanyakan konsumen tidak akan membelinya lagi. Itu sudah menjadi hukum dagang.


Salam Puinuk.