Perjalanan Ke Barat


Aku rebahkan tubuh ini di kasur lantai kamar Soni. Kasur yang sudah tidak berbentuk kasur lagi. Warnanya sudah pucat dan bolong sana sini. Tipis pula. Tak apalah, namanya numpang ya harus trimo ing pandum. Aku pejamkan mata ini, tak kuasa menahan lelah perjalanan tadi. Lukman dan Soni masih bercengkerama membahas sesuatu tak penting.
"Masssss...."
"Masssss...."
Tiba-tiba aku sudah di alam mimpi. Aku mencari arah suara yang memanggilku barusan. Aku melihat sekeliling. Tidak ada seorang pun. Siapa yang memanggilku?
"Massss....."
"Ida....," ujarku pelan melihat seorang wanita yang begitu jauh. Kenapa dia terlihat jauh. Tangannya melambai seolah minta tolong. Kakiku terasa kelu untuk melangkah. Kenapa aku ini? Aku tidak bisa mendekatinya.
"Idaaaaaa...." aku terjaga. Aku melihat sekeliling lagi. Masih di kamarnya Soni.
"Jiangkrik, nglindur kowe Bos? Bikin kaget saja!" ujar Lukman
"Wedusss, hahahaha," timpali Soni.
Aku yang menjadi tokoh utama hanya bisa tersenyum malu. Aku rebahkan kembali di kasur bisu itu. Aku tak bisa memejamkan mata ini. Sembari mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Gimana Son?"
"Lanjut to..."
Apa yang sedang mereka bicarakan, batinku
"Ananda Chamdani Lukman bin Fulan. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan adinda yang bernama Yuni Junet binti Fulan. Dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Yuni Junet binti Fulan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah?"
"Belum," tiba-tiba aku memotong pembicaraan mereka. Aku mekekelen menahan tawa. Jadi dari tadi mereka berdua latihan ijab qobul. Soni jadi wali dan Lukman mengucapkan qobul. Kok tidak mengajak aku, dijadikan saksi atau apa kek.
"Aseemmm kowe bos, hahaha."
Kami bertiga tertawa. Menertawakan kekonyolan barusan. Rasa kantukku seketika hilang. Kami saling ngobrol tentang masa depan kelak. Ahhh, konyol juga sebenarnya. Kita hanya bisa berencana, Allah yang berkehendak. Setidaknya kami sudah berusaha melukis impian kami di atas kanvas kehidupan. Tak terasa rasa kantuk melelapkan kami tanpa sadar.
Besuk ada agenda besar menanti kami. Perjalanan ke Barat.
****
Hari ini kami bertiga akan mendatangi pernikahan kawan satu kosan Soni dan Lukman dulu. Namanya Agung Kristianto. Perawakan kurus ceking. Tinggi sih. Tapi rela bagi-bagi? Aaahh malah ngelantur. Tempat resepsinya di Tuntang, Kabupaten Semarang. Sebagai rekan sejawat yang dulu berjuang bersama tidak afdol rasanya kalau tidak datang ke sana. Lagian juga sekali seumur hidup. Hitung-hitung sebagai tabungan kelak, hehehe.
Sebelum berangkat, kami luangkan waktu untuk sekadar ngopi pagi. Kopi susu sudah tersaji manis di depan masing-masing. Padahal belum juga cuci muka, masih tersisa bekas perjuangan tidur semalam. Iler. Toh juga agak ada yang lihat.
"Tempatnya sudah tahu Ni?" tanyaku mengenai tempat prosesi resepsi Lek Agung.
"Belum tahu. Gampanglah, pake google maps juga ketemu!" ujarnya enteng pake banget terus menyeruput kopinya.
Gampang mbahmu. Tidak tahu dia aku pernah trauma gara-gara google maps dulu di Rembang (baca: Perjalanan ke Timur). Ditelantarkan tanpa perasaan di pelosok desa yang warganya sendiri tidak tahu nama daerahnya. Tetapi rasa takut tersebut sedikit berkurang karena kami bertiga. Kalau tersesat lagi ya kebangetan sekali.
"Lha gak ada denah peta di undanganya to?" tanyaku sekali lagi. Menyeruput syahdu kopi di depanku.
"Gak ada Lek! Undangannya kan lewat Facebook!" balas Soni.
Whaatt?? Undangan lewat Facebook. Diacara sesakral ini. Sekali seumur hidup ini. Yah, yah. Dunia semakin aneh selurus dengan perkembangan teknologi. Teknologi memang bisa mendekatkan yang jauh, tetapi mereka tidak sadar juga menjauhkan yang dekat. Lihat saja sekarang, banyak orang berkumpul tetapi mereka disibukkan dengan gadget masing-masing. Serasa pada jadi anak autis sendiri-sendiri. Gilllaaaaa.... Kalau di kampungku mah, gak bakalan datang kalau tidak diundang pake sebungkus berkat.
Hari Minggu tidak ada gawean, enaknya ya males-malesan begini. Ditemani kopi susu. Mau mandi kok rasanya aras-arasen. Tetapi jam dinding kos menunjukkan pukul 09:00 pagi. Satu jam lagi harus beranjak ke daerah atas untuk nyumbang.
"Jasnya sudah cocok belum Son?" kata Lukman masih memandangi dirinya di depan cermin.
"Cocok Man. Jasku sepertinya malah terlalu kecil. Buat gerak agak susah gimana gitu. Jasmu piye Lek?" jawab Soni.
Aku masih memandang bayanganku di cermin. Ckckckckck, ternyata pake setelan jas hitam, kemeja putih, dasi, dan celana hitam membuatku terlihat ganteng maksimal. Bahkan kalo boleh jujur aku tidak mengenali siapa di cermin tersebut.
"Sekali-kali tampil modislah. Biar terkesan perlente. Bak priyayi, hahaha," ujarku menimpali Lukman dan Soni.
Kami bertiga masih berdiri di depan cermin. Mengagumi setelan pakaian masing-masing yang terlihat sama. Bak detektif dalam Men in Black saja.
"Tapi kok ada yang aneh ya Ni, Lek!" aku tertegun melihat sesuatu yang janggal.
Mereka berdua menoleh ke arahku. Mukanya penuh tanda tanya.
"Percuma kan kalo setelan jas, klimismplitit. Tapi perute masih saja buncit."
"Jiangkrik kowe Bos. Merusak khayalan wae," kesal Lukman menimpali.
Kami bertiga tertawa kembali. Membayangkan memakai setelan jas, pakai dasi, pakai sepatu fantopel. Tetapi itu hanya sebatas khayalan. Tak lebih. Yang ada malah, kemeja pendek, celana jeans dan pake Eiger KW (baca: sandal jepit).
"Yuk cussss"
*****
Kami sengaja tidak sarapan pagi. Biar perutnya bisa muat banyak kalo sampai di tempatnya Lek Agung. Lumayan kan makan gratis. Harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Itu prinsip anak kos, kata Soni. Aku mah ngikut saja.
Sudah 20 menit kami naik motor menuju tempat resepsi. Tapi belum juga sampai-sampai. Aku tanya Lukman katanya masih 10 km lagi. Alamak jauh amat. Selain dikarenakan suhu Semarang yang puanas pake banget. Perut ini sudah berdendang ria minta diisi.
"Eh Ni, ada yang bawa amplop gak? Tadi kelupaan pas di kos?" tanyaku membuang bosan.
"Gampang nanti cari pas di sana saja!"
Aahhh, panasnya Kota Semarang. Mungkin aku yang belum beradaptasi di sini kali ya? Dasar orang desa udik ketika melewati Ungaran yang banyak berjejer pabrik produk ternama membuatku ternganga kagum. Memang pada dasarnya di Purwodadi tidak ada pabrik. Kalau pun ada hanya sebatas Pabrik Kecap. Itupun tidak terlalu besar, masih tergolong Home Industri. Jadi harap maklum kalau seumur hidup baru melihat pabrik-pabrik yang sudah melegenda akan produknya.
Sebut saja, Nissin, yang selalu menemani hari-hariku di setiap lebaran. Produknya MondeKong Huan, Astor cukup menjadi primadona di desa. Selain itu multi fungsi yang dimiliki kalengnya selepas lebaran. Bisa buat tempat krupuk gendar/puli, rempeyek dan sebagainya.
Ada lagi pabrik Coca-Cola. Produsen minuman bersoda yang sangat-sangat mustahil untuk diminum dulu sewaktu kecil. Karena memang tidak kuat beli.
Akhirnya sebuah plang besar bertuliskan Tuntang menuntun kami untuk berbelok. Benar saja. Kami harus melewati jalan di tengah hutan. Melewati pemukiman penduduk yang tidak kami kenal sebelumnya. Melewati kebun buah milik pemerintah. Melewati persawahan bero.
Sebuah janur kuning melengkung. Berarti sudah mulai dekat nih tempatnya. Kami berhenti sejenak untuk memastikan dan mencari amplop.
"Yakin ini rumahnya Man?" tanya Soni
"Sepertinya begitu Son. Dulu ancer-ancernya ada gereja. Itu ada gereja! Wis to yakin. Sekarang tinggal cari amplop buat nyumbang!" jawab Lukman dengan menunjukkan sebuah tempat peribadatan.
Kami menyusuri toko-toko pinggir jalan untuk mencari sesuap amplop. Amplop sudah di tangan. Kami membeli empat karena ada teman yang nitip nyumbang. Dan tidak perlu kami beritahukan berapa yang kami gelontorkan untuk acara ini. Tahu sendirilah, hehehe.
*****
Skip. Skip. Skip. Akhirnya kami sampai juga di tempat kejadian pernikahan. Kalau boleh jujur sih agak nyepit tempatnya. Tak apalah. Yang pentingkan maknanya bukan tempatnya. Kami masuk bareng tamu yang lainnya soalnya kami hanya bertiga biji saja. Tidak etis kalau gluntang-gluntung sendirian di tempat yang menurut kami asing.
Disambut oleh bapak-bapak dan ibu-ibu penerima tamu. Tidak lupa juga memasukkan amplop yang tadi disiapkan ke dalam kotak amal uang. Isi buku tamu tidak pakai lama lanjut mencari tempat duduk. Yang lain dapat souvenir pemotong kuku kok kami tidak dikasih ini bagaimana? Kan kami juga tamu kehormatan dari negeri seberang. Kan lumayan daripada beli di toko. Tak apalah, aku maafkan!
“Yah, masih prosesi resepsi Lek!”
“Sabar Lek! Nyumbangmu ki piro langsung jaluk mangan!” lipur Soni
Ternyata prosesi resepsinya masih berlangsung. Dengan terpaksa harus menunggu lama. Padahal kami sudah perhitungkan ketika sampai langsung bisa menikmati santap makan. Ternyata memang belum rejeki. Terlihat mempelai pria keluar dari rumah entah punya siap diiringi beberapa cowok cewek yang didandani juga. Ekspresinya datar. Tidak ada senyum, kalaupun ada ya agak dipaksakan. Mungkin dikarena grogi dan gugup.
Skip.Skip.Skip. Prosesi resepsi selesai juga. Berarti waktunya isoma. Yahhh, inilah yang kami tunggu-tunggu. Kami langsung mengambil menu gule kambing yang tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat duduk. Ambil nasi secukupnya anak kos. Untuk lauk sudah disiapkan ibu-ibu di dalam mangkuk.
“Lauknya boleh ambil dobel Mas?” ujar salah satu Ibu yang masih sibuk menuangkan kuah gule ke dalam mangkuk daging.
Kami saling berpandangan. Segitunyakah Bu? Memandang kami seperti orang yang layak dikasihani? Layak dikasih lauk daging lebih? Kok Ibu itu bisa menebak latar belakang kami yang sangat kekurangan asupan daging. Tanpa pikir panjang dua mangkuk daging langsung kami tuangkan ke nasi terus disiram kuah gule yang banyak. Hitung-hitung buat ngisi tenaga nanti kalau pulang. Semoga saja nanti pas pulang juga dibawain berkat #ngarep.
Perjamuan makannya menerapkan konsep prasmanan. Tetapi sayangnya ya itu, tempat makannya satu dengan yang lainnya terpisah jauh antara langit dan bumi #lebay. Jadi memaksa kami tidak bisa mengeluarkan jurus bayangan untuk mencicip semua makanan. Yah, terpaksa deh cuma makan gule kambing.
“Kenyang Man?” tanya Soni kepada Lukman yang bingung mencari air minum.
“Hahahaha, sebenernya kalau jujur ya belum Son. Tapi ya mau gimana lagi. Jawa imejlah. Sekali-kali kayak orang lain gitu makannya sedikit!”
“Halah telo. Ngomong saja sih ngeleh. Soalnya aku juga sama, hahaha!”
Demi kesejahteraan bersama. Kami sudahi acara makan-makannya. Dan anehnya, semua kursi yang awalnya tadi terisi penuh oleh tamu. Setelah acara makan selesai langsung lenggang melompong. Oalah, ternyata mereka juga menunggu bagian isoma juga.
*****
Selesai makan, para tamu disuguhi hiburan organ tunggal. Ada dua biduan yang menghibur. Yang satunya masih muda, sital, agak sedikit semok dan manis 
bukan cantik. Dan satunya lagi sudah masuk fase ibu-ibu paruh baya. Kami memutuskan untuk foto-foto dengan mempelai berdua. Lek Agung Kristianto dengan Mbak Heni. Karena antriannya kayak antrian sembako kami menunggu sembari menikmati lagu yang disuguhkan. Ada seorang bapak-bapak yang request lagu dan dinyanyikan sendiri. Suaramu itu lho Pak, menusuk relung hatiku. Falsnya tidak ketulungan.
Sungguh benar di luar dugaan kami bertiga. Ini namanya rejeki atau malah ujian. Kami duduk berhadapan langsung dengan biduan muda tadi. Dan posisi duduknya biduan tersebut kakinya dinaikkan di kaki satunya. Posisi duduk khas para wanita. Yang membuat kami terpana adalah rok yang dikenakan biduan tersebut bisa dikatakan kurang panjang (baca: pendek). Maka terpampanglah paha biduan cantik tersebut tanpa tedeng aling-aling yang menghalangi. Mak glek, ludah aku telan. Kok sekarang hawanya jadi agak panas ya!
Serba salah. Kalau dilihat dosa. Kalau tidak dilihat ya eman-eman namanya rejeki. Jarang ada. Aku memberi kode kepada Lek Soni dan Lukman tentang temuan di depan mata tersebut. Ternyata mereka juga memperhatikan. Oalah jangkrik selera kita sama. Anehnya, bukannya memperbaiki posisi duduknya yang menantang tersebut. Si biduan acuh tak acuh dengan pandangan kami bertiga. Agaknya memang disengaja dan memancing kami bertiga nih.
“Mbak-mbak sajake kok nantang diciwel pupune,” batinku
Akhirnya kami diselamatkan dengan dipanggil ke atas panggung untuk foto bersama pengantin. Meski kami beranjak dari kursi dengan sedikit masih memandang pemandangan langka tadi.
Kami bersalaman dan basa basi berpelukan untuk mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga yang samawa kata orang-orang. Sakinah Mawadah Warohmah. Semoga kami segera menyusulmu Lek Agung.
Pose sebentar. Foto jebret. Terus disuruh turun. Gantian dengan yang lainnya. Cuma sekali jepretan? Alamak. Dan akhirnya kami tahu besarnya sumbanganmu berbanding lurus banyaknya jepretan foto dengan pengantin. **Foto jepretan tunggal kemarin masih proses dikirim sama Lek Agung.
“Sudah? Cuma begini saja? Datang, salaman, duduk, makan, foto terus pulang?” keluh Soni tidak percaya.
“Nyumbangmu ki lho piro?” jawab kami berdua
Kami tertawa bersama.
Salam Macul
NB: Lek Agung Kristianto dan Mbak Heni jangan marah ya atas kelancanganku menulis ini semua. Tidak lain tidak bukan hanya untuk mengenang memori. Semoga bahagia sampai kakek nenek. Kapan aku nyusul? Kalau boleh jujur aku pun sudah kemana-mana mencarinya. Mungkin dia masih tersesat di hati oranglain, hahaha.

Laki-laki biasa yang berusaha untuk menjadi lebih baik. Cari modal untuk menghalalkanmu, Dik!

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon