Semua jagulan maculku entah kenapa dicancel sama pemilik sawah. Wah, wah, wah pemutusan kontrak secara sepihak ini. Tetapi aku terima dengan legowo. Pasti ada sesuatu yang mendasari ini semua. Tiba-tiba HP ku berdering mendendangkan lagu dangdut koplo.
"Halo Ni, piye?"
"Senggang gak bos? Lagi sibuk gak?"
"Lagi free ini, freehatin, hahaha. Mau kau ajak kemana?" aku langsung to the point, karena kebiasaan Lukman pasti mengajak pergi.
"Kalo gak sibuk, ayo ke Semarang dua hari. Ada acara nyumbang ke Ungaran, piye?"
"Oke. Ke sini jam berapa? Tapi biasa yo, hahaha."
"Setelah ini meluncur. Oke gampang!!"
Klik. Telepon mati. Tak apalah acara perjagulannya dibatalkan ternyata memang aku harus meluangkan waktu untuk refreshing dari dunia persawahan. Aku ambil handuk hendak mandi. Tiba-tiba terlintas bayangan wanita dalam mimpi-mimpiku sebelumnya. Ida. Ketika sampai kamar mandi, bak mandi kosong melompong.
"Kalau mau mandi, ngangsu dulu. Tadi airnya habis buat Ibu nyuci!"
Yah, ngangsu air dahulu nih.
*****
Aku dan Lukman sudah dalam perjalanan ke Semarang. Inilah pertama kali aku ke Kota Semarang. Kotanya Mbak Mutoharoh -pendiri Nasida Ria-, cerita yang aku peroleh dari Emak. Emak memang penggemar Nasida Ria. Dan kali ini aku ke kota tersebut. Siapa tahu bisa bertemu Mbak Mutaharoh dan meminta difotoin Lukman dan menyampaikan salam dari Emak di kampung. Aahhh mikir apa aku ini, hahaha.
"Ni, aku beberapa hari ini kepikiran wanita yang bernama Ida," curhatku kepada Lukman dalam perjalanan. Daripada diam-diaman tidak ada yang dibahas.
"Ida sapa?" Lukman membuka kaca helmnya.
"Kalau aku tahu gak bakalan tanya kamu, Ni. Eh yo katamu acara nyumbange Minggu, ini kok Jumat sore sudah ke Semarang?"
"Nanti mampir ke kosnya Soni sama mampir ke Rusunawa Unnes," jawabnya masih konsentrasi bawa motor.
"Ealah, ketemu Yuni to. Bakalan jadi obat nyamuk nih!" jawabku sekenanya. Aku alihkan pandangnaku ke pemandangan persawahan sepanjang perjalanan. Walau jujur pikiran ini selalu buntu memikirkan sosok wanita yang bernama Ida itu. Tak ada yang bisa membantu memecahkan persoalan ini.
"Ojo melamun Bos. Gak usah dipikir terus. Yang lalu biar berlalu. Lagian yo dah mau nikah ojo dipikirke terus. Sudah jadi milik oranglain. Dosa kalau dikangenin sama mantannya, hahaha."
"Hahahaha wedus!"
****
Butuh waktu 2 jam untuk sampai di Semarang. Kebetulan memang jalan Purwodadi-Semarang dalam masa perbaikan. Jalan aspal diganti semua dengan beton cor. Tetapi masih saja semua orang tertanam perspektif kalau jalan ke Purwodadi itu jelek dan berlubang. Padahal kan memang iya. Tapi sekarang sudah berubah kok, kalau tidak percaya cobalah sekali-kali dolanmu ke daerah etan.
Sampai juga di asrama wanita Unnes. Memang Lukman langsung mampir ke asrama ceweknya. Aahhh bakalan jadi pengusir nyamuk nih, batinku.
Bangunan 5 lantai yang entah berapa jumlah kamarnya berdiri kokoh di depanku.
Pelbagai jenis pakaian menghiasi setiap jendela kamar. Khas sekali kamar cewek. Entah maksudnya ingin pamer atau memang tidak ada tempat jemuran lainnya. Mulai dari jenis pakaian a, b, h, c, d, dan z berjejer rapi melambai-lambai tertiup angin.
Kami berdua menunggu di lantai 1 dengan pak satpam. Sepertinya Lukman sudah akrab sekali dengan satpam tersebut. Bisa ditarik kemungkinan kalau dia sudah intens sekali ke sini. Ya, ya, cukup tahu. Apa yang ditunggu-tunggu akhirnya turun juga. Seorang
bidadari wanita biasa. Dari wajah-wajahnya bisa aku tebak. Pasti ini salah satu produk orang Purwodadi juga. Cukup tahu.
Basa basi berjabat tangan. Menyunggingkan senyum sapa.
"Mas, bisa anter aku sekarang ke kampus. Ada yang harus aku beli nih. Penting!" ujar Yuni langsung bercuap-cuap dengan Lukman. Seolah aku tak ada. Ya memang aku bukan sapa-sapa mereka.
"Bos, aku tinggal di sini bentar ya! Akrab-akrab dengan Pak Satpam, sapa tahu kamu dikenalkan sama salah satu anak asrama sini,"
Aku hanya mengangguk pelan. Pandanganku masih tertuju layar televisi. Setidaknya tidak harus menjadi obat nyamuk di antara mereka berdua.
Ini anak pada kemana sih, sudah satu jam belum balik juga. Belinya di Arab kali ya? Apa jangan-jangan malah tersesat dan tidak tahu arah jalan pulang. Aku tanpamu....aaahhh aku malah ngelantur yang tidak-tidak.
Pak Satpam keluar membawa dua cangkir. Dari bau-baunya sih kopi susu.
"Monggo mas, diminum kopinya. Sambil nunggu temannya balik," ujar Pak Satpam.
"Makasih Mas Sulis," jawabku setelah lihat tag nama di baju satpamnya.
Lha bener to, kopi susu. Cocok nonton tv ditemani kopi susu. "Sudah lama ya mas kerja jadi satpam di sini?" tanyaku biar ada obrolan. Acara do televisi tidak ada yang menarik perhatianku. Sinetron gaje semua.
"Alhamdulillah sudah 3 tahunan Mas! Lha sampean masih kuliah atau sudah kerja?" baliknya bertanya.
"Ou gitu. Aku cuma petani di desa Mas. Ke sini tadi cuma nemenin kawan main."
"Wah enak ya Mas jadi petani,"
"Enak gak enak Mas. Sebenarnya semua pekerjaan kan sama. Cuma bagaimana kita menjalaninya dan mensyukurinya. Terkadang kita melihat pekerjaan orang lain enak daripada pekerjaan kita. Padahal belum tentu demikian adanya. Malahan terkadang oranglain memandang pekerjaan kita yang lebih enak. Sawang sinawang Mas. Kok malah jadi kayak ceramah begini ya...."
Kami tertawa bersama. "Enak ya Mas, setiap hari selalu bertemu wanita muda, enerjik dan cantik," gantian aku bertanya sembari menyeruput kopi susu.
"Ya itu mungkin hanya sebagai bumbu saja sih Mas. Seperti yang mas ucapkan tadi, sawang sinawang. Tapi ya mau gimana lagi. Sudah jadi pekerjaan sehari-hari. Tapi kalau boleh jujur di sini banyak godaannya," jawabnya sambil tersenyum aneh.
"Godaan makhluk halus, Mas?" tanyaku heran. Maklum sih, rusunawa ini berada di tengah semi hutan. Belakangnya masih banyak pohon dan persawahan.
"Halah masnya pura-pura tidak paham. Ya dari penghuni asrama sini to Mas. Mahasiswi-mahasiswi yang di sini. Mayoritas di sini memang memakai hijab. Tapi ada juga yang tidak memakai. Godaannya ya itu terkadang ada yang pakaiannya ketat, menonjolkan lekuk tubuhnya. Bagian ataslah, bagian bawahlah. Ada juga yang selesai mandi cuma pakai handuk dengan entengnya berjalan santai ke kamar. Ada juga yang pakai celana pendek bersliweran. Kan harus menahan itu semua, hahaha. Untung sudah berkeluarga Mas. Jadi aman."
"Itu mah namanya rejeki Mas. Asal jangan kedip saja pas melihatnya, hahaha" kami tertawa kembali. Kopi di cangkir sudah masuk ke fase tegukan terakhir. Tetapi belum juga terlihat batang hidung Lukman dan Yuni. Jiangkrik, ditinggal garing di sini aku.
"Mas aku boleh jalan-jalan di samping asrama sini?" aku mulai bosan dan ingin melihat-lihat keadaan sekitar.
"Monggo mas, tapi jangan heran kalau melihat apa yang tadi kita bicarakan," pesannya.
"Lha makanya itu Mas. Mau aku cek, benar atau tidak, hahaha," aku berlalu berjalan mengitari rusunawa.
****
Terlihat dua orang sedang duduk di taman rusunawa. Seorang wanita berjilbab dengan seorang pria tambun. Keduanya aku tidak mengenalnya. Ah sudahlah, mungkin juga mereka lagi pacaran. Melepas rindu. Melepas kangen. Tetapi ada yang aneh dari gerak gerik mereka berdua. Terlihat wanitanya menunduk dan......
Menangis? Batinku. Aku tidak salah melihatnya. Meski jarakku dengan mereka puluhan meter. Tapi aku yakin 1000% kalau wanita tersebut menangis. Yah, lihat telenovela di dunia nyata nih.
"Kamu tu sudah berubah. Tidak seperti yang aku kenal dulu, hikksss hikksss hiksss..."
"Kalau berubah mah jadi power ranger Mbak atau Baja Hitam," yah aku keceplosan menanggapi.
Aku sembunyi agar mereka berdua tidak tahu ada sepasang mata mengamati dari jauh. Karena kebetulan asrama juga lumayan sepi.
Aku ingin beranjak tapi harus kemana. Aku bersembunyi di balik pohon. Bukan maksud untuk menguping sebenarnya.
"Kamu harus percaya aku. Aku bisa menjelaskan semuanya ini," sanggah si pria tambun.
"Percaya kamu mah musyrik Mas," yaelah lagi-lagi aku keceplosan bicara. Aku tutup mulut ini dengan kedua tangan.
Mereka berdua melihat sekitar, sepertinya mereka mendengar perkataanku. Cukup aman aku bersembunyi di balik pohon ini.
Braaakkkk...sebuah buku di lempar begitu saja.
"Jujur aku sudah lelah dengan sikapmu selama ini. Aku sudah capek. Tidak perlu kau jelaskan lagi. Aku sudah tahu semuanya. Semua kelakuanmu di belakangku, aku juga sudah tahu semua,"
Sepertinya aku tidak asing dengan suara tersebut. Aku mencubit pipi dan tangan, kalau ini tidak mimpi lagi. Suara itu....
"Aku bisa menjelaskan itu semua, Yanti. Itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku masih sayang kamu Yan," pria tambun tersebut berjongkok di depannya.
"Kalau kamu sayang seharusnya kamu menganggap aku ada di depan teman-temanmu. Apa kamu pernah menganggapku di depan mereka? Tidak kan. Kalau kamu memang sayang seharusnya kamu mengenalkan aku dengan keluargamu di sini. Tidak pernah kan? Aku rela bersitegang dengan keluargaku karena membelamu. Apa kamu tahu? Bahkan tidak pernah terpikirkan di kelapamu kan?"
Si Pria hanya diam. Hanya menunduk. Tak sepantasnya aku mendengar pertengkaran mereka. Wanita yang bernama Yanti tersebut masih menangis sesenggukan. Tetapi aku harus memastikan suara tersebut. Tetapi namanya berbeda seperti dalam mimpi. Aaaaahhh aku jadi gila sendiri.
"Maaf aku sudah tidak bisa mempertahankan hubungan ini. Sudah terlalu sakit hati ini. Kamu kembalilah kepada wanita yang beberapa hari kemarin kamu tembak. Pergilah. Aku sudah tidak mau melihat wajahmu saat ini," makin menangislah wanita tersebut. Seolah aku bisa merasakan apa yang dia rasakan.
Pria tambun tersebut pergi tanpa sepatah kata apapun. Mungkin semua yang dikatakan wanita tersebut benar adanya. Lelaki bajingan, batinku. Aku serba salah sendiri. Mau menenangkan wanita tersebut. Hubunganku apa? Meninggalkannya begitu saja. Hati ini terasa tidak tega. Aaaaahhh aku gila jilid 2.
Aku lihat jam tangan, hampir dua jam aku dibiarkan kluntang-kluntung sendiri tak tahu arah sama si duo Lukman Yuni. Beneran pergi ke Arab mereka. Aku langkahkan kaki ini mendekati Yanti yang masih menunduk menangis.
Pertama tadi, suaranya. Kedua, buku yang dilemparkan tadi. Persis seperti clue buku yang diberikan di dalam mimpi. Aku mengambil buku yang tergeletak sebagai saksi bisu kejadian barusan. Biarlah dia menganggapku sok perhatian, sok care atau apalah. Tidak ada yang maksud apa-apa. Sepenuhnya rasa yang tidak aku pahami menuntunku mendekatinya.
Aku sudah berdiri di depannya. Tak apalah dia tidak menganggapku datang.
"Bukankah sudah aku bilang aku tidak mau melihatmu lagi. Kenapa masih di sini?" ucapnya sembari mengangkat wajah. Kali ini aku bisa dengan jelas melihat keseluruhan raut wajahnya.
Deg. Deg. Deg. Deg. Seolah detak jantungku melambat. Aku beneran sedang tidak bermimpi kan? Astaghfirullah maskaranya tidak karuan karena kena airmatanya.
"Idaaaa....." ujarku spontan. Aku memberikan buku Matematika yang dibuang tadi ke arahnya.
Wanita tersebut tertegun heran. Ternyata ada orang asing yang melihatnya menangis. Aku juga bingung ini dia atau orang yang mirip. Dua clue sudah terjawab, tinggal clue terakhir. Namanya berbeda.
*****
"Bosss...sorry lama. Tadi muter-muter dulu, hehehe."
Terdengar suara Lukman dari arah gerbang. Aku menoleh ke arah suara. Melihat senyumnya yang cengengesan. Merasa tidak berdosa sekali dia sudah menelantarkanku begini.
"Lho....... Bukunya ini terus gimana?" aku mencari-cari wanita di depanku tadi. Kok sudah tidak ada lagi. Kemana perginya? Cepat sekali menghilang.
"Cari siapa kamu Bos? Clingak-clinguk di situ?" tanya Lukman setelah mendekatiku. Dia juga ikut-ikutan mencari.
"Mbok ganggu kok Ni! Malah wis ilang to," aku mendengus kesal. Tak apalah setidaknya aku masih memegang buku Matematika ini.
"Lha emangnya siapa?" tanyanya heran
"Jangkrik Ni. Wis puas mbojone?"
Aku enyahkan tentang wanita tadi. Makin tak karuan pikiran ini. Ida? Yanti? Siapakah mereka berdua. Aaahhhh aku mulai gila jilid 3.
"Yok ah. Cus ke kos Soni!" ajak Lukman membuyarkan lamunanku.
Asrama ini, masih misteri buatku. Ini awal dari kisah jalan hidupku atau hanya sebagai pernik-pernik pelengkap saja? Pandanganku semakin menjauh. Menembus awan. Ya, aku serasa berada di negeri awan.
Yang pasti aku belum melihat sendiri apa yang diobrolkan dengan Pak Satpam tadi, hehehe.
Salam Macul
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon