“Kowe enek duit Ni?"
“Piro bos?”
“Koyok biasane. Sisuk tak genti
bar bayaran macul!”
Setiap orang pasti punya teman.
Punya seseorang -yang note benenya bukan saudara kandung-yang ada di saat
kesusahan maupun di saat kita bahagia atau senang. Pasti kalian memiliki
sahabat yang seperti itu? Tidak perlu banyak memang. Cukup satu dan itu sudah
lebih dari cukup.
“Angger moro ngomah wae. Aku lagi
nek omah muleh soko Semarang!”
“OK. Siap meluncur!”
Namanya Lukman (dany.web.id)
tetapi aku lebih suka memanggilnya dengan panggilan “Ni” sedangkan dia sering
memanggilkan dengan “Bos” (bosok paling, hahaha. Petani po yo enek sing dadi
bos to Ni Ni). Kami berteman sejak kelas 3 SMA.
Setelah lulus SMA dia melanjutkan
kuliah di Univesitas Negeri Semarang mengambil jurusan guru olahraga. Mengikuti
jejak bapaknya. Sedangkan saya cuma melanjutkan kuliah di universitas sawah.
Setiap kali dia pulang saya mendapatkan cerita bagaimana hidup sebagai
mahasiswa kos-kosan. Cerita dari kota Semarang. Saya kenal dengan komputer,
internet, gadget juga semua darinya. Begitu juga ketika harus jagake masalah
duit juga dari dia, hahaha.
Ketika punya sahabat sejati kalian pasti pernah melakukan hal-hal gila. Yang apabila sekarang kita ingat kembali Cuma bisa berkomentar, ngopo biyen kok iso koyok ngunu, sambil tersenyum. Itu kenangan yang tidak bisa terlupakan. Begitu juga saya sama Lukman, banyak hal gila yang telah kami lalui.
******
Dan yang paling ingat adalah
cerita berikut ini:
Derrrttttttt.... HP ku bergetar
ada sms masuk.
Posisi nek ndi bos? tenyata sms dari Lukman.
Nek omah Ni. Lagi kondangan, enek opo?
Bare jam piro? Meh tak jak dolan!!
Delok ngkas. Yo ngko tak dolan ngomah.
Keluarga Lukman sudah saya anggap
sebagai keluarga kedua. Saya pun juga sudah dianggap sebagai anak ketiga di
keluarga tersebut
“Lukman wonten Bu??” sapaku
setelah salam dan mencium tangan ibunya.
“Deloken kae nek kamar At.”
Kalo di keluarga ini aku lebih dikenal dengan panggilan Atmo. Aku pun langsung nyelonong masuk
ke kamarnya. Terlihat dia masih berkutat di depan laptopnya. Sesekali mengecek
layar HP.
“Enek opo Ni?” tanyaku setelah
membaringkan badan di tempat tidur.
“Pokoke mengko melu aku!”
jawabnya pendek. Aku tak sempat berpikir mau diajak kemana. Kalau tahu dari
awal tentu aku akan menentang keras ide gila ini.
Tepat pukul sembilan kalau tidak
salah waktu itu. Lukman mengajak ke Purwodadi sembari menghampiri Bajang. Dan saat
itulah saya baru tahu kalau malam ini kami bertiga akan ke Solo. Teman kami
sewaktu SMA, Dewi, ulang tahun. Dewi sedang menempuh kuliah D3 di UNS.
“Lha wis reti kose durung?”
tanyaku pada Bajang.
“Durung! Mengko gampanglah. Sms jaluk
alamate!”
Lukman pernah pacaran dengan Dewi
sewaktu kelas 2. Walaupun sudah putus tetapi dia masih memiliki rasa sayang
kepadanya. Itu yang aku tangkap dari dia. Sedangkan Bajang (nama aslinya
Hermanto) sudah lama memendam rasa kepada Dewi, tetapi selalu diabaikan rasa
tersebut oleh Dewi.
Freindzone nda, friendzone!! Wong jenenge jek seneng mbok kapak-kapakno tetap angel kandanane. Koyok koncoku siji iki. Mbengi-mbengi ditekati menyang Solo trimo meh ngucapke selamat ulang tahun. Lakyo edan. Edan maneh yo aku, kok iso-isone melu-melu.
Freindzone nda, friendzone!! Wong jenenge jek seneng mbok kapak-kapakno tetap angel kandanane. Koyok koncoku siji iki. Mbengi-mbengi ditekati menyang Solo trimo meh ngucapke selamat ulang tahun. Lakyo edan. Edan maneh yo aku, kok iso-isone melu-melu.
Udara malam kami terjang bertiga,
aku bonceng Lukman. Kurang lebih pukul setengah 12 kami sampai juga di Solo. Yang
jadi masalah, kami belum juga mendapatkan alamat kosnya Dewi.
“Piye Jang, wis dikirimi durung
alamate?” tanya Lukman kepada Bajang.
“Durung. Durung dibales smsku!”
Sembari menunggu sms balasan dari
Dewi, kami pun muter-muter di sekitaran kampus UNS. Tentu kos-kosannya tidak
begitu jauh dengan kampus tersebut. Akhirnya apa yang kita harapkan didapatkan.
Kalau tidak salah dulu Jalan Petir apa Bledek gitu..... kami pun langsung cap
cus mencari nama jalan tersebut. Duh dek, nak awan enak iso takok-takok warga. Lha
iki ameh jam 12 mbengi arep takok sopo jal. Mertamu nek omahe pak RT, hahaha. Dengan
penuh perjuangan akhirnya kami menemukan lokasi tkp tersangka. Jam menunjukkan
pukul 23:40, masih ada beberapa menit sampai jam 24:00.
“Terus iki arep digawakno opo? Mosok
yo soko Purwodadi trimo gowo manuk-manuk tok, ora gowo opo-opo. Tapi aku lagi
ra gowo duit, hahaha!” ujarku. Aku dan Bajang memandang ke Lukman.
“Ayo golek hamburger mbi cokelat!
Jam semene toko roti po ono sing jek buka!”
Kami bertiga langsung bergerak ke
kota mencari hadiah. Kalau tidak dapat roti ya cokelat tidak apa-apa. Kami muter-muter
lagi mencari toko yang masih buka. Akhirnya Lukman membeli 3 hamburger dan satu
batang cokelat. Soalnya dia yang punya gawe, aku mah ngikut tok.
Hadiah sudah di tangan, waktu
masih menyisakan 15 menit untuk kembali ke lokasi tadi. Sial tidak bisa
ditolak, kami lupa jalan kembali ke tempat kosnya Dewi.
“Modyar lak kowe. Malah kesasar
nek ndi-ndi ki. Kapok kapok aku!” umpatku.
“Sabar gene. Iki yo bingung golek
dalan!” jawab Lukman.
Benar saja. Kami sampai di kosan
tersebut jam 12 lebih 15 menit. Agak was-was juga karena daerah kampung
tersbeut sudah sepi. Takutnya nanti malah digrebek warga sekitar atas tuduhan
yang bukan-bukan. Satu masalah selesai, tinggal menunggu si pemeran utama
keluar menyambut tiga pangeran udik dari Purwodadi. Lagi-lagi kami sial,
berkali-kali Lukman dan Bajang menghubungi nomro Dewi selalu sibuk dan tidak
diangkat.
Batinku, “Iki mesti lagi
telpon-telponan mbi pacare sing anyar!” mau tertawa, tetapi kok tidak tega
memandang wajah Lukman dan Bajang. Akhirnya setelah menunggu beberapa menit, si
Dewi keluar juga.
Kalau keluar langsung menemui
kami bertiga tidak apa-apa. Lha ini, malah keluar di balkon lantai 2. Nasib-nasib,
jadi ya kayak Raspunzel di atas menara dengan para pangeran di bawahnya.
“Lha kowe ki do laopo
mbengi-mbengi kluyuran tekan kene!” sambut Dewi melihat kami bertiga dari atas
balkon.
“Mbahmu kui. Direwangi soko
Purwodadi sambutanmu trimo ngunu. Kakeane!” jawabku seenaknya saja. Dia malah
tertawa.
Terjadi obrolan dari atas ke
bawah, bawah ke atas antara mereka bertiga. Lukman memberikan cokelat kepada
Dewi. Sedangkan burgernya kami makan bertiga saja. Ngeleh nda ngenteni
suwi.....
Tak terasa jam sudah menunjukkan
pukul 2 pagi. Kami memutuskan pulang ke Purwodadi. Asem og, direwangi soko
Purwodadi trimo ngene tok. Tapi yo delok raine Lukman mbi Bajang sumringah, aku
dadi konco melu seneng wae.
Udara pagi terasa menusuk tulang
kami, pulang mengendarai sepeda motor. Ketika sampai di Sragen, kami memutuskan
untuk tidur di Pom bensin karena sudah tidak kuat. Kami istirahat hanya 2 jam
setelah itu melanjutkan perjalanan lagi. Yang paling aku ingat kejadian
tersebut 3 hari sebelum puasa Ramadhan datang.
“Ni Ni, nak aku mbok jak neh
mbolang nek Solo trimo ngene tok mending aku turu nek omah. Kakeane tenan kowe
og!” umpatku setelah sampai di Grobogan. Ngekek mbi mesem tok jawabe. Oalah.....bocah
gemblung.....
*****
Satu lagi kejadian gila yang kami
lakukan, kali ini cuma saya dan Lukman saja. Waktu itu Lukman barusan beli
modem lewat online toko Jogjakarta. Setelah sampai entah kenapa modem tersebut
tidak bisa digunakan. Bingunge ora ketulungan....
“Bos enek acara gak? Ayo melu aku
nek Jogja ngijolno modemku. Asem og modeme gak gelem dienggo!” terdengar suara
dari seberang sana.
“Lagi bar macul aku. Parani yo?”
klik aku matikan telponnya.
Hari itu kami berdua ke
Jogjakarta. Sama seperti kejadian sebelumnya, dia belum tahu alamat toko yang
jual modem tersebut. Buseett, iki kayake meh terulang maneh....
“Gampang mengko takok-takok wong
kono. Mbi takok Dhiyah, wonge lak ning Jogja iki!”
Dhiyah adalah teman kami sewaktu
SMA, dulu menempuh pendidikan di UII Jogjakarta. Jadi bisa kami jadikan guide
atau panduan kami ke tempat toko modem tersebut.
Sorenya kami sampai juga di Jogjakarta. Tapi kami masih kebingungan menemukan alamat tokonya. Akhirnya aku yang mencari jalan dengan google maps (dulu pake HP Sony Ericssonnya Lukman), dia yang menyetir motornya. Setelah sekian lama muter-muter, kami menemukan alamat sekaligus toko penjual modem tersebut. Lego rasane.....
Setelah masuk, kami dilayani pegawai toko. Kalau tidak salah dulu cowok.
“Mas kok modeme gak iso dienggo
yo? Opo rusak?” tanya Lukman sembari menyerahkan modem tersebut.
Modem tersebut dicek sama
pegawainya. “Oalah mas-mas, iki ora rusak. Terimo salah pengaturane. Dadi mengko
nak konek diatur ngene ojo ngono!”
Mak jleebbbbb..... Adoh-adoh soko
Purwodadi ki trimo salah pengaturane. Mati lakwis Ni Ni, hahahaha
Akhirnya kami tertawa ketika
perjalanan pulang. Koyok wong edan tenan.
Sebenarnya masih banyak hal-hal
gila yang telah kami lalui selama ini. Biarlah yang lain jadi memori indah di
antara kita. Terkadang lewat hal gilalah kita seakan terikat dengan orang
tersebut.
Sahabat adalah orang yang ada
ketika semua orang tidak ada untuk kita. Kalo orang Jawa menyebutnya Sedulur
Lanang/Wedok Temu Gedhe. Sedulur sing ora lair soko ibu sing podo, nanging lair
soko wongtuo bedo. Ya, begitulah adanya memang. Sahabat memiliki ikatan
tersendiri meskipun bukan saudara kandung. Bahkan dulu kami pernah beli jaket putih couple di pasar, sebelum jaket couple booming akhir-akhir ini, wkwkwkwk...
Terima kasih yo Ni,
hahahahaha.....
“Ni.....transferi sik yo”
Salam Macul.......
NB: Foto itu diambil bulan April 2012 ketika kami menghadiri pernikahan salah satu teman SMA. Dan alhamdulillah sekarang dia sudah menjadi guru Olahraga dan saya masih berjuang meneruskan perjuangan bapak saya sebagai petani.
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon