Renang : Bukannya Ku Tak Cinta....

Jika kalian mendengar kata renang apa yang terlintas di pikiran? Olahraga air. Tempat berkumpulnya para pria atau wanita baik muda maupun tua untuk berendam sekaligus mandi. Atau tempat yang digunakan sedikit remaja untuk cuci mata karena dapat melihat rejeki yang terpampang secara gratis. Dan masih banyak lagi mungkin.

Ketika saya ditanya apakah saya bisa renang? Saya menjawab setengah bisa setengah tidak. Ketika saya ditanya apakah saya suka atau senang renang? Iya waktu kecil. Lha sekarang masih suka atau senang? Enggak. Sekarang rasa sukaku sudah saya berikan kepada oranglain (nggak nyambung ya).
Sebenarnya saya tidak begitu suka renang. Kalaupun ikut renang pasti juga terpaksa karena diajak gratis sama teman-teman. Berbeda sekali waktu saya masih kecil. Renang tidak harus bayar. Gratis tis. Tidak mengeluarkan uang sepersen pun. Tetapi sekarang renang harus di kolam renanglah. Di pemandianlah. Di empanglah. Atau dimanalah. Harus bayar uang parkir sekaligus bayar uang masuk.

Kembali ke permasalahan pertama, yaitu kenapa saya tidak begitu suka renang. Ada dua penyebab utama kenapa saya tidak begitu menyukainya. Pengen tahu nggak? Nggaaakkkk..... asem tenan.


1. Trauma ketika kecil
Belakang rumah saya adalah sungai yang sering digunakan untuk mandi para warga. Dari mencuci pakaian, mandi, dan keperluan lain-lain. Tidak terkecuali para anak-anak kecil. Sungai digunakan untuk ajang pamer ketangkasan renang.

Apalagi pas banjir, semakin dipamerkan saja kebolehannya. Berlomba paling cepat menyebrang dari sisi pinggir sungai satu ke sisi seberangnya. Air sungai lagi meluap berwarna coklat. Ketika itu kami empat sekawan, saya sendiri, Muslih, Mat, Yono. Awalnya saya tidak mau ikuta-ikutan mereka berlomba nyebrang.

Karena saya tahu diri ilmu renangnya masih cekak. Yono, Muslih dan Mat sudah berulang kali menyebrang dari sisi satu ke sisi lainnya. Saya masih berkutat di pinggir.

“Ayo melu nyebrang! Ojo koyok wong wedok kowe!”
Mbatinku, asem ig. Aku masih belum tergugah.

“Lhah, kowe adus lakwis terus muleh. Lanang kok raiso renang. Gowo rok lakwis,” ujar Mat langsung nyemplung ke sungai.

“Ayo melu nek kono,” kata Yono menunjuk ke seberang sungai. “Mengko tak cekeli melu nyebrang! Ojo khawatir keli!”

Akhirnya saya mengiyakan ajakan Yono. Akupun pegangan sama lengan Yono nyebur bareng ke sungai. Ketika nyampe tengah sungai. Tiba-tiba pegangan saya lepas. Yono masih saja ke seberang tanpa menghiraukan saya yang mulai hanyut bersama arus sungai.

“Tulung woi.....” aku tenggelam muncul tenggelam muncul meminta tolong teman-teman yang berada di seberang. Mereka bertiga baru nggeh saya hanyut ketika melihat saya yang mulai menjauh dibawa arus sungai. Sayapun sempat berpikir, apakah ini hari saya meninggal? Hari terakhir saya hidup?

Ketika saya sudah pasrah. Ada dorongan entah kemana membuat tubuh saya ke pinggir kali. Alhamdulillah.

“Asem tak kiro modar kelem kowe!” ujar Yono tanpa berdosa. Rasane pengen dugang raine kui, hahahaha.

Aku rak ndandeh. Aku rak ndandeh.

Saya pun tidak bisa mengeluarkan kata. Mungkin lagi syok.
Akhirnya saya hanya bisa menangis. Benar-benar menangis. Sumpah. (waktu itu masih SD, lupa umur berapa)

2. Membuat Pusing
Entah kenapa setiap kali saya renang pasti telinga ini kemasukan air. Mungkin karena saya tidak memakai alat penyumpel (penyumbat) telinga.

Makanya selain tidak bisa berenang saya menghindari akibat yang ditimbulkan. Karena saya toh bisanya ciblon di kolam renang bukan melakukan renang.
Setelah selesai renang kepala biasanya pusing, gliyengan. Kepala berkunang-kunang. Dan tiba-tiba badan ini meriang. Kalau orang Jawa menyebutkan ketisen. Susah memang kalau orang kampung diajak mewah sedikit, menaikkan level ciblon di kali ke pemandian.

Dulu pernah sekali diajak Lukman bersama bapaknya berenang di Pemandian Jati Pohon. Karena boleh dikatakan itu pertama kali dalam hidup saya ke pemandian. Beneran!
Alhamdulillah kok karcis masuknya ditraktir sekalian, hahaha.
Lukman yang memang sering berenang (calon guru Olahraga mosok yo ora iso renang lakyo diguyu muride).

Mengenakan katok boxer, kacamata renang, penyumpel kuping. Sedangkan aku cuma bawa katok boxer, udah cuma itu. Bertelanjang dada, orang kampung nyebutnya Nglegok. Maklumlah tubuhku dulu agak kurua kerontang jadi pas nglegok ya agak canggung dan malu.

Lukman dan bapaknya sudah hilir mudik dari sisi satu ke sisi lainnya kolam. Lha aku? Isih ciblon di pinggir kolam. Mau pesen ban, malu akan umur, hahaha. Kalau di kali enak pake debog bisa buat ngambang. Lha mosok aku ngotong-ngotong debog tekan pemandian?

Yaudah akhirnya saya ceburkan diri ke dalam kolam. Bertapa di dalam kolam. Siapa tahu dapat wangsit dan berubah menjadi avatar pengendali air, hahaha.

Setelah beberapa episode renang akhirnya selesai juga. Sambil minum kopi anget bersama gorengan. Duh dekkkk....maknyosss....opo maneh gratisan.... Dobel maknyosss...

Ternyata apa yang aku khawatirkan selama ini terjadi. Sepulang renang, badan saya ketisen, meriang (merindukan kasih sayang). Wissss nak dadine ngene mesti oleh omelan soko simbok. Wedine aku keno sawan soko ngendi.

Mungkin itu yang menjadi dasar saya untuk membenci akan olahraga renang. Beneran bukannya aku tak cinta sama renang. Karena dua alasan di atas yang membuatku tak begitu antusias ketika diajak ke pamandian. Kecuali untuk sekadar cuci mata melihat 'anu'.

"Duh dek...aku pancen ora iso renang. Tapi nak trimo renang nek atimu aku sanggup dik, hahaha"

Salam macul....

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon