Semua Ada Waktunya

"Kamu tidak mau menikah, Day?” tanya Hati di sore itu.

Aku terdiam. Sejenak kaget mendengar pertanyaan. Pertanyaan yang lebih ke sebuah kekhawatiran. Aku hanya tersenyum kepadanya. Menyesap kopi di cangkir yang sembari tadi kupegang.

“Apakah pertanyaanku salah?” tanyanya kembali.

Aku hanya menggelengkan kepala. Menikmati semilir angin sore di balkon rumah. Melihat pemandangan hiaju yang terhampar di persawahan.

Aku dan Hati membisu. Hati sepertinya merasa bersalah atas pertanyannya barusan. Hanya memandang secangkir teh yang dibuatnya tadi.

“Hat, setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Agar mereka saling mengenal. Siapa di dunia ini yang tidak ingin menikah, Hat. Aku pun mempunyai keinginan tersebut. Lantas apa yang kau khawatirkan?” jawabku tanpa memandangnya.

“Mungkin kamu khawatir bahwa teman-teman seangkatan saya sudah menikah semua. Sudah memiliki momongan. Bahwakan teman-teman di bawahku juga sudah banyak yang menikah. Itu yang kamu risaukan?” kali ini aku berubah memandang wajahnya.

Hati hanya mengangguk pelan.

“Aku pun juga demikian, Hat. Kadang kala iri juga melihat teman-teman lainnya sudah menikah semua. Tetapi aku sadar Hat. Segala sesuatu itu ada waktunya. Dan mungkin ini memang belum waktuku untuk mengucapkan janji sakral tersebut. Segala sesuatu yang sudah ditulis di Lauh Mahfudz baik itu rejeki, jodoh dan mati, tidak bisa kita majukan atau dimundurkan. Mungkin ini rencana-Nya bahwa saya harus memperbaiki diri. Fokus belajar dan bekerja. Maka yang terbaik akan datang sendiri.”

“Apakah kamu tidak malu ketika ditanya sama teman-temanmu, Day?”

Aku tertawa mendengar pertanyaan Hati. Hati berbalik menatapku heran. Mungkin kalau diungkapkan, ‘apakah ada yang lucu?’

“Kenapa aku harus malu, Hat? Malu karena sampai saat ini aku masih sendiri? Biarlah mereka berkata apa. Tidak lakulah. Tidak beranilah. Mengejek. Meremehkan. Lantas jika semua perkataan mereka aku dengarkan. Apakah lantas jodohku besuk langsung datang? Besuk bisa langsung menikah seperti apa yang mereka khawatirkan?”

“Aku percaya dengan janji-janji terbaik-Nya. Dan doa-doa terbaik dari orang yang sungguh peduli. Bukan sekadar rese' sibuk bertanya sambil tertawa cengengesan. Wajah sok akrab tapi sebenarnya meremehkan.”

Hati mendekatiku. Berjejer tepat di sebelahku. Tangannya memegang tanganku yang masih memegang cangkir kopi. Hangat. Sehangat perhatiannya selama ini. Sehangat kepeduliannya selama ini.

“Aku hanya berharap, kamu tidak pernah membenci atau menaruh dendam kepada orang-orang yang pernah membuatmu sakit atau kecewa karena persoalan cinta.”

Seketika aku diam. Menunduk. Tidak tahu apa yang harus aku ucapkan sebagai pembelaan. Pandanganku hanya tertuju ke kopi hitam di dalam cangkir. Samakah warnanya dengan apa yang aku pendam saat ini. Mudah memang mengucapkan sebuah kata maaf. Tetapi untuk belajar mengobati apa yang sudah mereka torehkan belum bisa aku lakukan. Dan itu yang Hati lihat dari laki-laki yang berdiri tepat di sebelahnya.

“Orang insting, seperti kamu Day, selalu menyimpan benci dan dendam atas rasa sakit apa yang mereka terima. Aku berharap kamu dapat membuang dendam atau benci tersebut. Percayalah, membenci hanya menyakiti dirimu sendiri. Karena terkadang tidak semua luka harus dibayar dengan luka,” Hati mengenggam tanganku semakin erat.

Aku hanya mengangguk pelan.

“Apakah aku bisa?” batinku.

“Segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin, Day.”

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon