Soni Pengen Rabi

Tak seperti biasanya wajah jomblo satu ini sedikit bermuram durja. Tak selaras dengan perut buncitnya yang makin menjadi-jadi. Masalah macam apa lagi yang sedang mendera makhluk satu ini, ya Gusti, batinku sebagai sohib yang berusaha pengerten.
"Parah, Lek!" Ujarnya masih dengan wajah yang sungguh memprihatinkan.
Aku dan Lukman masih berdiri mematung dan tak kuasa untuk tidak mendekat.
"Macam mau kiamat saja perkara asmaramu," celetukku.
Soni akhirnya mau mencerita perihal yang masalah yang membelitnya belakangan ini. Sudah bisa aku tebak. Orang satu ini selalu rapuh jika berhadapan dengan yang namanya percintaan. Duh Lek, biyen mbokmu nyidam opo pas meteng kowe!
"Jadi kemarin itu saya belanja di salah satu supermarket. Tiba-tiba ada seorang wanita muda menepuk pundak saya. Sontak saya kaget dan heran. Kenal saja belum sudah main tepuk segala,"
Kami berdua setia mendengarkan. Berusaha menangkap pokok permasalahan pelik buat makhluk rentan ini.
"Akhirnya dia bilang kalau dulu pernah satu kelas di SMP. Jujur kalau disuruh mengingat saya tidak bisa mengingatnya ketika masih di SMP. Lha wong ingat mantan saja saya sering-sering lupa, hehehe.."
Lagak-lagaknya hendak diselingi ndagel yang tidak lucu. "Yo ncen, kowe ki opo pernah duwe mantan!" Skak Lukman.
Modyar kowe, batinku.
"Setelah ngobrol yang tidak jelas. Saya memutuskan untuk pulang. Ketika pulang dia meminta nomor telepon. Sebenarnya mamang mau saya kasih atau tidak. Akhirnya ya saya kasih. Lha wong lumayan cantik je."
"Oh raimu. Lha terus masalahe ki opo? Ketemu wadon ayu konco SMP wae iso gawe galau ora ketulungan ngunu," sahutku tak sabar.
"Kowe ki kok yo ra sabaran ki lho. Tinggal mendengar saja kok ya repot. Lha masalah iki, selang beberapa hari. Dia telepon."
Aku dan Lukman saling berpandangan heran. Drama apalagi ini, Duh Gusti.
"Lha kalo telepon biasa sih sih tidak apa-apa. Malah kebablasan curhat masalah pribadine tetek bengek ra karuan. Aku sebagai laki-laki yang baik hati ya gur mendengarkan."
"Yo apik nu!" Sahutku.
"Apik lambemu kuwi. Ujung-ujunge opo jal. Dia berterus terang kalau semenjak SMP sudah menaruh hati dan rasa kepadaku. Lha aku lakyo bingung. Sak umur-umur lagi pisan ini ditembak cewek."
"Sik-sik, kowe duwe fotone tah ora?" Tanya Lukman ikut-ikutan mulai beraksi.
"Ho'oh, ndi fotone jal,"
Soni memperlihatkan sebuah foto seorang wanita yang, heeemmm, lumayan cantilah. Pantes semisal dijak kondangan mantenan.
"Genah yo ayu ngono. Gelemi wae. Itung-itung kowe nyenengno wong tuomu. Rak mesake kowe. Pengen lek ndang delok anake rabi," lanjutku.
"Masalahe kuwi statuse Lek!"
"Lho emang statuse kenopo?" Tambah Lukman
"Wonge ki janda mahmud abas."
"Kowe ki nak gawe ukoro ki mbokyo sing gampang dingerteni ngunu lho. Mahmud abas ki opo maneh?"
"Mulak'o dadi wong ki gaul. Mahmud abas ki, mamah muda anak baru satu."
Kami berdua diam klalep. Sejenak tak tahu apa yang harus kami ucapkan.
"Kowe ki ncen badjingan og. Gusti Allah ki pancen adil, kowe pengen rabi. Diwenehi sisan bonus!"
"Bonus raimu kuwi!" Jawabnya sedikit sengak.
"Deloken Lukman kuwi, tinggal menghitung bulan bakalan jadi ayah. Lha kowe ki wis titi wancine rabi tur gendong anak. Lha kari gendong anak, ora usah repot-repot gawe kok yo sih maido."
Aku dan Lukman tertawa. Wajahnya Soni makin tak karuan. Agaknya salah langkah karena curhat ke tempat yang salah.
"Lha kok omonganmu gedebus ngunu. Kowe wae yo durung rabi. Sok-sokan ngandani. Teloo tenan kowe!"
"Modyar kowe bos, kapokmu kapan!" Sahut Lukman ikut-ikutan menyerang.
Taek kabeh.
"Kowe podo lali yo. Deloken maneh kae film-film pendekar. Lakon kuwi menange keri. Lakon kuwi bahagiane keri. Tititk!"

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon