Putri Tuan Besar dan Senyumnya


Hari ini untuk yang kesekian kalinya aku mengunjungi rumahnya. Rumah megah berlantai tiga dengan warna coklat pada tiap sisinya. Oh..dan juga beberapa tanaman rindang di depan rumahnya.
Apa aku terlihat sangat hafal dengan rumahnya? Tentu saja. Hampir tiap hari aku datang ke sana. Ehm..lebih tepatnya tiap hari Rabu dan Sabtu aku datang ke sana.
Apa kalian bertanya siapa aku? Aku bukanlah siapa-siapa, karena bukan aku yang memegang peranan di sini. Kuperjelas lagi, aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang buruh cuci dari perkampungan sebelah yang beruntung dapat bekerja di rumahnya.
Dia?
Kalian bertanya siapa Dia? Sejujurnya aku pun tak tahu siapa Dia. Bahkan namanya pun aku tak tahu. Aku cukup sadar diri untuk tak mencoba berkenalan dengannya.
Aku kira semua orang berpunya seperti Dia pasti punya standar sendiri untuk ukuran pantas menjadi temannya. Yang aku tahu Dia adalah putri Tuan Besar di rumah ini. Dan sepertinya Tuan Besar memang hanya mempunyai satu orang putri.
Nyonya Besar? Entahlah..aku tak tahu..
Baiklah. Sepertinya aku terlalu banyak bicara semenjak masuk gerbang rumahnya. Kulangkahkan kakiku menuju pintu rumahnya. Perlahan aku memanggil Tuan Besar.
Bukannya aku tak mau menggunakan bel rumah. Hanya saja..aku tak tahu cara menggunakannya.
Oh ayolah.. di kampungku tak ada orang yang memasang bel semacam itu. Hanya dengan berteriak di depan pintu saja sudah cukup.
Pintu rumahnya terbuka. Tuan Besar sudah menyambutku disana.
“Masuklah, pekerjaan sudah menunggumu”, senyum ramah selalu menghiasi wajahnya.
“Baik Tuan”,
Berbeda dengan Tuan Besar yang ramah. Putrinya tak seramah beliau.Entah kenapa aku tak pernah melihatnya tersenyum. Apa mungkin Dia tak menyukaiku? Tapi seharusnya Dia tak menunjukkan wajah murung itu padaku. Jujur, aku kasihan melihatnya.
Sepertinya usia Putri Tuan Besar dan aku tak terpaut jauh. Bukankah harusnya kami bisa berteman? Oh maaf..aku lupa..standar temannya pasti bukanlah seorang gadis buruh cuci seperti aku.
Pekerjaanku selesai sore ini. Setelah kubereskan semua, aku bergegas menemui Tuan Besar.
Sekali lagi aku melihat sekilas wajah Putri Tuan Besar. Masih seperti sediakala. Murung dan tanpa senyum. Apa ada yang salah dengan hidupnya? Dengan begitu banyak kecukupan yang Dia punya. Dia tak harus bekerja keras setiap harinya agar bisa membeli apa yang Dia inginkan.
Setidaknya Dia harus bahagia untuk Tuan Besar.
***
Hari berikutnya setelah pekerjaanku selesai, aku berhenti sedikit lebih lama di dekat kamarnya yang selalu terbuka. Kulihat Tuan Besar ada disana. Sedang berbicara sesuatu hal dengan sang Putri.
Apa yang mereka bicarakan? Aku sungguh ingin tahu. Tapi apa hakku?
Aku mulai berlalu. Lebih baik berpamitan dengan penjaga gerbang saja. Sepertinya Tuan Besar sedang sibuk dengan sang Putri.
Sayup sayup aku mendengar isak tangis dari dalam kamar sang putri. Kenapa Dia menangis?
Kuarahkan langkah kakiku kembali ke depan kamarnya. Tuan Besar marah! Entah karena apa aku tak mengerti. Dia hanya menangis dan terus menangis. Tapi air matanya tak keluar sedikitpun
Sebenarnya apa yang ia tangisi?
Semua perkataan Tuan Besar tak diacuhkan olehnya. Akhirnya kuputuskan untuk pergi saja.
Tapi, tiba-tiba Dia menoleh padaku dan tersenyum. Senyum yang sangat indah.
Sesaat aku terpana.. Apa aku bermimpi? Putri Tuan Besar yang sedang menangis itu tersenyum padaku?
Kubawa rasa penasaranku sampai penjaga gerbang membukakan gerbangnya untukku. “Hei..kenapa kau tersenyum sepanjang jalan, Nak?” Aku diam. “Apa kau mulai seperti sang Putri?”
Apa maksudnya? Aku menoleh padanya.
“Apa kau melihat sang Putri bicara sampai kau tersenyum sepanjang jalan seperti itu?” Penjaga gerbang menatapku sinis. “Apa masalahnya kalau Dia bicara?” Aku heran pada penjaga gerbang ini.
“Mustahil!”, Hanya itu yang dikatakannya. Dan senyumku pudar seketika.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon