Pesona Seorang Perawat


Dwi Andri Yatmo - “Kau tahu Lek, beberapa hari lalu aku dikenalkan dengan seorang perawat. Sudah pegawai negeri pula. Aku kudu piye Lek?” keluh Soni di hadapanku. 

Bedebah memang anak satu ini. Jika kalian pernah membaca tulisanku sebelumnya yang ini. Tentu kalian bisa memaklumi umpatanku barusan. Jika mendengar kata perawat, aiihhh, seolah-olah hanya angan-anganku belaka. Jadi, dulu kala, aku pernah berkeinginan memiliki pacar seorang perawat. Tetapi sampai tulisan ini jadi pun belum pernah sekalipun itu terwujud. 

Kembali lagi ke persoalan pelik tadi. Agaknya Lek Soni bimbang akan pilihan yang harus diambil. Lanjut atau tidak, begitu versi sederhananya. 

Kowe yo kudu maju. Eman-eman kalo mbok lepas. Belajarlah dari dua kesalahanmu di masa lalu. Bahkan yang terakhir masih berdampak buruk sampai saat ini. Wajah penyesalanmu itu tidak bisa kau sembunyikan.” 

Soni hanya menyengir kuda. Ya mungkin sedikit menohok omonganku. Tapi terkadang kita memang harus memberikan pil pahit kepada orang yang kita pedulikan. 

“Aku sih wedi kok Lek. Nyawang awakku dewe wae isih ngene. Orak level karo bocahe sing wis pegawai negeri. Aku hanya remah-remah rengginang Lek.” 

Sing mbok takutkan itu lho opo?” 

“Jasik, bapaknya seorang polisi Lek. Ibunya seorang guru sekolah dasar. Lha aku iki opo to Lek?” 

Sulit memang berbicara percaya diri pada orang yang umurnya sudah kelewat untuk sekadar pacar-pacaran. Sudah tidak pantas. Tetapi bukankah cinta tidak memandang usia atau umur? Aaahh ribet. 

“Aku lakyo keder to Lek.” 

Aku hanya menepuk pundaknya sebagai rasa empati. Berat memang. Jika selalu status sosial dan ekonomi dijadikan patokan dan panutan. Tapi ya memang begitu adanya bukan? Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tak terkecuali untuk masalah pasangannya. 

“Kita senasib Lek,” batinku menambahi. 

Semilir angin malam menerpa. Mengabarkan bahwa dingin mulai menyambut. Aku seruput kopi hitam sebagai teman obrolan dua orang yang tak paham tentang dunia percintaan. 

“Sepertinya ada yang salah di hidup kita deh Lek,” ujar Soni sembari menyesap kopi miliknya. 

“Kita?” sambarku refleks.”Kamu sendiri kalee Lek, haha.” 

Kami tertawa bersama. Ya, menertawakan diri sendiri yang sebenarnya tidak paham yang salah di bagian mana. 

“Harusnya kita itu sudah tidak membahas pacar-pacaran. Gebetan. Bingung nembak cewek. Itu masa sudah terlewatkan untuk kita yang umurnya sudah segini. Harusnya obrolan kita itu, gimana kabar anakmu? Istrimu gimana sudah tekdung lagi? Ada keinginan nambah momongan? Istri mau nambah gak?....” 

Ha ha ha. Lagi-lagi kami tertawa. Aneh memang membayangkannya. Tetapi itulah yang seharusnya kami bahas saat ini. Oh Tuhan, beri petunjuk hamba-Mu yang menyedihkan ini. 

“Satu saja kesulitan. Sok-sokan nambah. Lagian to Lek, kamu curhat juga salah tempat. Curhat kok sesama tuna asmara. Kita itu curhatnya ke Lukman, yang notabene sudah jadi bapak sekaligus suami. Pengalaman asmaranya lebih banyak daripada kita ini. Mantanmu saja bisa dihitung jari, lha dia? Entah sudah berapa sekian. Dirimu saja mantan baru 2 move on setengah mati.” 

Modyar. Kuapokmu kapan, ha ha ha. 

Telo kowe Lek. Malah mbok umbar kabeh ngunu.” 

Tiba-tiba terdengar bunyi nada dering. 

Atiku rasane loro 

Nyawang kowe rabi karo wong liyo 

“Djiancuk nada dering hapemu kok makjleb ngunu koyok sing duwe,” kagetku sembari ingin tertawa.“Lek tak kandani yo jare wong-wong tuwo. Bojo kuwi durung tentu jodo, tapi nak jodo mesti dadi bojo. Paham ora?” 

“Ora usah gusar nak ditinggal rabi karo mantan. Haruse kowe ki bangga.” 

“Lha kok iso kudu bangga Lek?” tanyanya heran 

“Yo bangga, karena selama ini kamu menjaga jodoh orang lain,ha ha ha” 

Oooh ncen djiancuk,” umpatnya kemudian disambung gelak tawa. 

Indahnya malam ini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon