Tivi di Rumah Pak Joyo



Kemarin aku menumpang nonton televisi di rumah Pak Joyo. Kalian tahu Pak Joyo kan?
Itu lho..juragan beras yang paling kaya di kampungku.

Hari ini pekerjaanku tak begitu banyak. Jadi sepulang merumput di sawah aku bisa langsung menonton televisi.

Kesempatan seperti ini memang sangat jarang terjadi padaku.

Biasanya aku selalu bekerja serabutan mulai dari adzan subuh berkumandang sampai adzan maghrib menjelang.
Melelahkan memang, tapi aku tak punya pilihan lain.
Pengennya ya bersekolah. Tapi uangnya yang tak ada.
Emak bapakku sudah terlalu tua untuk memikirkan kelanjutan sekolahku. Eh, maksudku bukan kelanjutan tp nasib sekolahku.
Bagaimana aku bisa mengatakan kelanjutan kalau aku saja tak pernah bersekolah.
Kalau aku tak pernah bersekolah, lalu apa yang mau aku lanjutkan?

Jangan khawatirkan aku, aku sudah biasa dengan kehidupan dengan pekerjaan serabutan seperti ini. Dan kedengarannya tidak semengerikan seperti apa yang kalian kira.

Aku pun tak merasa sengsara sama sekali.
Kenapa aku bilang begini?
Tentu saja karena aku sudah biasa.

Bicara tentang kebiasaanku sehari-hari, pernah suatu siang aku menumpang nonton televisi di rumah Pak Joyo.

Disana ada tayangan yang sepertinya membahas tentang kehidupan ‘sengsara’ seorang anak kecil berusia 10 tahun yang bekerja serabutan seperti aku.
Aku heran, bagaimana bisa tayangan di tivi tampak terlalu mendramatisir suasana seperti itu?
Usiaku sama dengan anak itu, dan aku juga bekerja serabutan sepertinya.
Tapi aku tak pernah merasa se-sengsara itu.
Percayalah, kehidupan anak itu jauh lebih baik daripada aku.

Dia masih punya orang tua yang mampu menjadi buruh tani tiap harinya.

Sedangkan orang tua ku? Untuk berjalan saja sudah kesulitan.
Dan aku bersyukur karena dengan begitu mereka tak akan pergi kemana-mana dan meninggalkan aku sendirian.
Hidup sendirian terdengar mengerikan menurutku.

Dia punya seragam untuk pergi bersekolah tiap harinya.

Sedangkan aku? Jangankan seragam, bersekolahpun tidak.
Tapi aku bersyukur karena aku bisa punya tambahan sedikit uang karena aku bisa bekerja lebih lama tanpa harus pusing tiap malam memikirkan PR menumpuk dari sekolah.

Dia punya pakaian yang lumayan bagus ketika dia masuk tivi.

Sedangkan aku? Aku hanya punya dua kaos lusuh warna biru dan kuning serta satu celana pendek yang sudah tak jelas warnanya.
Dilihat dari penampilanku saja sudah tak layak masuk tivi.

Dari sini kalian dapat menebak betapa akan terlihat sengsara diriku jika masuk tivi di acara yang sama seperti anak itu.
Tapi..ngomong-ngomong, apa ada tivi yang mau menawariku untuk mengisi acaranya?

Sepertinya tak ada.
Dan kebetulan sekali aku tak mau masuk tivi.
Tapi tak apalah, apa enaknya masuk tivi? Jadi tontonan banyak orang dan kebanyakan dari mereka akan mengasihaniku.
Dan aku tak suka dikasihani.

Aku juga melihat dapur anak itu dari tivi. Lumayan bagus menurutku.

Setidaknya dia punya peralatan lengkap.
Punya meja, punya piring, punya mangkuk, punya sendok, punya garpu. Dan peralatan dapur lainnya.
Sedangkan aku?
Di rumahku yang luar biasa kecil ini, hanya ada satu meja rapuh dan kursi reot.
Tanpa peralatan makan yang lengkap.
Apa kalian bilang?
Miris?
Jangan berlebihan, aku makan menggunakan tangan dan beralaskan daun pisang.
Rasanya sudah enak menurutku. Setidaknya aku tidak perlu repot-repot membeli sabun cuci piring setiap miggunya.
Harga sabun cuci piring memang tidak mahal, tapi akan lebih menguntungkan kalau aku gunakan uang itu untuk mencicil hutang beras di toko Pak Joyo.
Bukankah itu penghematan yang lumayan?
Pak Joyo memang sangat baik hati.
Aku sangat bersyukur bisa berhutang beras dari juragan baik hati seperti dia.
Hutangku memang tak banyak. Hanya sedikit beras yang aku beli dari Pak Joyo.
Karena beruntungnya lagi emak bapakku memang porsi makannya tak banyak.
Tiap aku datang ke toko Pak Joyo, aku hanya mampu membayar setengah harga beras.
Jika besok penghasilanku bertambah. Akan aku bayar lunas hutang hari ini.
Begitu seterusnya.

Ah, sudahlah..

Aku sampai lupa menceritakan acara tivi yang aku tonton siang ini.

Kalian tau?

Acara hari ini jauh lebih tidak menyenangkan daripada cerita tentang anak kecil tempo hari.

Di tivi terlihat sekelompok orang kaya yang makan siang di sebuah restoran mewah.

Dengan dekorasi yang indah dan sepertinya menu makannya pun sangat enak.

Tapi..setelah pesanan mereka datang..

Makanan itu ditumpahkan di atas meja. Tanpa piring. Tanpa sendok ataupun lainnya.
Mereka makan tanpa piring?
Semua makanan ditumpahkan di atas meja dan semua orang kaya itu makan dengan lahapnya.
Mereka bilang kalau makan tanpa peralatan makan seperti biasanya mempunyai sensasi yang sangat berbeda dan mereka sangat menyukainya.

Apa kebanyakan orang kaya selalu seperti itu?

Ada apa dengan hidup ini sebenarnya?

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon