Kurang lebih 2 tahun saya
bergelut dengan riba. Awalnya saya berpikir, ah sama saja. Tinggal bagaimana
kita mengatur dan bersedekah saja. Itulah bayangan di kepala ketika menerima
pekerjaan tersebut. Meskipun sebenarnya tahu bahwa riba sangat diharamkan di
dalam keyakinan saya. Dicoba dululah tidak apa-apa, keputusan saya ambil.
Pekerjaan tersebut dilatar
belakangi atas ketidakpuasan ‘seseorang’. “Kalau kamu bekerja di situ? Bagaimana
kelak akan membangun masa depan?”
Akhirnya saya mengambil
itu kerjaan lantaran referensi ‘dia’ juga. Saya memang selalu menuruti apa yang
‘seseorang’ itu katakan. Kata salah satu teman, itulah kelemahan yang dimiliki
orang Pisces. Ciiih meskipun saya terkadang tidak percaya
akan hal-hal tersebut.
Kurang lebih setahun
berjalan di pekerjaan yang memang setiap harinya berurusan dengan kredit,
bunga, tabungan, deposito. Sedikit ada perubahan gaya hidup, walau tidak
signifikan. Karena saya memang tidak pernah suka shopping atau jalan-jalan kemana kek. Kecuali
kalau ada yang mengajak. Mungkin ini juga yang membuat hubungan dengan
‘seseorang’ tersebut mulai hambar dan dingin. Egois dengan diri sendiri.
Awalnya perubahan hidup
yang saya rasakan sedikit demi sedikit malah menjerat dengan yang namanya
kekurangan. Ketidakpuasan. Awalnya gaji sebulan cukup dan bisa disisihkan untuk
orang di rumah. Lama-lama menjadi minus. Tombok. Besar pasak
daripada tiang. Selalu saja pengeluaran tidak sesuai dengan penghasilan lagi.
Entah ini saya yang memang kurang memanage atau bagaimana.
Mulai saat itulah setiap
bulan dan bulan-bulan berikutnya pengeluaran selalu satu langkah di depan
penghasilan. Utang sana sini. Tutup lubang gali lubang. Apakah yang salah? Aku
juga menyisihkan sedikit untuk berbagi. Sholat insya Allah juga tidak
bolong-bolong amat. Mungkin dikarenakan tidak bisa manage keuangan, simpulan
saya waktu itu.
****
Tidak ada perubahan yang
lebih baik bulan-bulan berikutnya. Pernah saya bertukar pikiran dengan sesama
teman kantor satu divisi. Mengenai keresahan keuangan yang njlimet ini, walau
tidak terbuka seratus persen. Anehnya, teman sebelah meja tersebut juga
mengalami hal yang sama. Defisit. Minus.
Kurang. Bokek. Setiap gajian layaknya mampir ngombe, begitu ungkapannya.
Ternyata tidak saya saja yang merasakan.
Alhamdulillah, Allah
selalu memberikan rejeki yang tidak terduga-duga. Setiap kali bokek, saya pakai
ungkapan itu saja, Allah memberikan rejeki dari orang-orang yang meminta servis
laptop atau handphone. Malah terkadang uang inilah yang membantu menyambung
hidup. Uang pokok gaji kemana? Entah kemana uang itu pergi.
Akhirnya saya sedikit
disadarkan oleh perkataan salah satu sahabat. Dia berujar, kalau dari hulunya
saja sudah kotor. Sebersih apapun kamu membersihkannya tetap kotor juga. Ya.
Saya diingatkan oleh perkataan itu. Muncul niatan untuk resign. Walau masih
sebatas keinginan.
Niatan itu aku utarakan
kepada ‘seseorang’ yang sudah mulai apatis antara satu sama lain. Hubungan ini
sebatas formalitas belaka. Di dalam sudah mulai membentuk benteng dingin
masing-masing.
‘Aku mau
resign!’
‘Resign? Sudah dapat penggantinya. Kalau
belum mau kerja apa? Sekarang cari kerja itu susah. Jangankan lulusan SMA, lha
wong lulusan sarjana saja banyak yang nganggur,’ balasnya.
‘Aku
sudah tidak nyaman dengan pekerjaan yang bersinggungan dengan riba. Kamu tahu
kan tiap bulan bukannya bisa menabung malah minus mulu. Malah selalu
merepotkanmu tiap bulan.’
‘Terserah
kamu sajalah. Toh juga kamu yang jalani sendiri.’
*****
Niatan tersebut masih
sebatas niatan. Belum ada keberanian untuk memberikan sebuah surat cinta, eh,
mundur kepada manager di lantai 2. Dan hubunganku dengan ‘dia’ sudah entah
sampai mana tingkat kejenuhannya. Bahkan tersiar kabar, itupun juga dari ‘dia’
langsung, kalau orangtuanya sudah menentukan calon suami. Keinginan untuk
bertandang membawa bapak ibu musnah sudah. Harapan, walau sudah pesimis karena
beberapa bulan ini hubungan seperti ini, untuk bersama menemui jalan sulit
kalau tidak mau dikatakan buntu.
Dan hari tersebut akhirnya
datang, tidak pernah ada komunikasi yang terjalin. Hubungan kurang lebih 4-5
tahun sudah terkubur secara resmi dengan datangnya sebuah sms darinya.
‘Aku
sudah dijodohkan dengan oranglain pilihan orangtua. Hubungan ini cukup sampai
di sini. Tolong jangan hubungi aku lagi. Terima kasih untuk selama ini.’
Bak orang sekarat,
sakaratul maut, akhirnya modyar juga. Itulah persoalan selain niatan
untuk resign. Masalah itu membuatku sejenak melupakan
untuk resign. Menenangkan hati dengan bersembunyi di
balik pekerjaan. Dan hasilnya, pekerjaan tidak maksimal dan banyak kesalahan.
Lantas apakah aku menyalahkannya? Saya tidak pernah sekejam itu menghakimi.
Tak terasa sudah memasuki
1,5 tahun masih berkutat dengan riba. Ada perubahan? Tidak ada. Masih seperti
setahun kemarin. Gaji tiap bulan bak mampir terus berlalu. Ditambah lagi status
resmi jomblo. Walau sudah saya duga jauh-jauh hari. Tetapi hanya menunggu
momentum peresmian perpisahan itu.
*****
Ada sahabat sewaktu SMA
yang selalu saya repotkan masalah keuangan. Malah dengan dia sering saya
habiskan waktu daripada ‘dia’. Saking dekatnya, mungkin kalau dia perempuan
sudah saya tembak kepalanya. Berusaha setegar apa pun seorang pria kalau ada
masalah mengenai asmara pasti akan tercium juga oleh sesama pria. Tak
terkecuali sahabat saya itu.
Dia sedang menjalin
hubungan jarak jauh dengan seorang wanita yang sedang dinas di Aceh. Anehnya,
jadiannya pun tidak tatap muka. Kok bisa ya? Kadang heran kalau dipikir. Niatan
untuk resign pun pernah saya lontarkan kepadanya.
‘Kerjaku
riba gak sih Ni?’
‘Sorry
bos, nak masalah riba tidaknya aku angkat tangan. Tidak punya pengetahuan cukup
aku harus judge ini riba itu tidak.’
‘Bosomu
leh sok-sokan duwur!’
Jangkrik,
perasaan sewaktu SMA jadi ketua Rohis, batinku. Dia lebih memilih berkutat dengan
layar handphonenya daripada meneruskan perdebatan.
‘Kowe kok
gak semangat to bos! Wis to wis, wong wedok okeh. Gak mung siji kae,’ tiba-tiba dia membahas topik
lain.
‘Emang
ketok yo?’
‘Raimu ki
ora iso ngapusi aku. Have fun. Ojo digowo pikir, mundak loro. Nyoh diwenehi pin
BB koncone cewekku. Jare yo lagi bar putus, hahaha.’
‘Oh,
lambemu. Ndi pin e?’
Aku masih bertahan di
tempat kerja. Meski jujur sudah mulai tidak merasakan lagi apa yang namanya
bekerja. Perkenalan dengan teman pacarnya Lukman juga dingin awalnya. Karena
mungkin saya yang tidak agresif.
‘Bos,
bos, kapan iso olehmu cewek nak chattingmu monoton. Takon iki dijawab wis.
Nganti lebaran kucing yo gak bakalan oleh kowe. Sing agresif. Okeh takone.
Improvisasi. Gawe bahan perbincangan. Jangkrik ngunu og koncoku!’
****
Singkat kata, hubungan yang
awalnya hanya pertemanan ternyata berkata lain. Saat itu dia meminta tolong
untuk dibelikan buku dan akan menjadi pertemuan pertama kami. Benar saja,
akhirnya kami bertemu.
Sedikit canggung karena
sebelumnya hanya say hello via aplikasi handphone. Saya memang tidak mengatakan
kalau bekerja di salah satu lembaga keuangan. Karena toh hanya sebatas teman.
Tetapi kehendak Allah berkata lain, kami semakin didekatkan dan mau tidak mau
dia tahu kalau saya bekerja di pekerjaan riba.
Deg. Memang tidak ada
penolakan di wajah. Tetapi dia memberikan nasihat dan dasar bahwasanya riba itu
haram di dalam Islam. Walau saya sebenarnya juga tahu. Itulah pertarungan yang
terjadi di dalam diri saya akhir-akhir ini. Memberikan saran untuk resign dan
mencari pekerjaan yang lebih halal. Dan apa saya langsung menyetujuinya?
Awalnya masih sedikit
gamang. Tetapi mantab juga tekat untuk resign. Langsung saya menghadap bapak
manager di lantai 2. Dengan membawa surat pengunduran diri. Awalnya pak manager
berusaha menahan karena kerja saya bagus. Tapi saya tetap pada pendirian untuk
mundur.
Dan tepat 25 September
2015 saya lepas dari perusahaan tersebut. Atau khususnya lepas dari jeratan
riba selama ini. Itulah pengalaman saya yang kurang lebih berdekatan dengan
riba. Tidak ada berkah-berkahnya. Saya di sini tidak pernah menjelek-jelekkan
sebuah perusahaan atau profesi. Ini murni apa yang saya rasakan sendiri. Dulu
pernah saya membeli handphone yang sedikit mahal dengan gaji bulanan. Selang
beberapa handphone tersebut hilang karena lupa naruh pas jalan-jalan di mall.
Anehnya handphone satunya yang dulu beli pakai uang ngelesi sampai sekarang
masih ada.
Banyak kok orang yang
kerja di lingkungan riba jadi sukses. Saya tidak mempermasalahkan oranglain.
Entah dia sukses atau tidak. Kita sendiri yang merasakannya. Bisa saja mereka
sukses tetapi ada sedikit kegelisahan di hati mereka (bisa mungkin terjadi.
Saya tulis mungkin). Dan mungkin Allah masih sayang kepada saya dengan
memberikan keberanian untuk keluar dari lingkaran setan riba. Jauhilah riba
kalau tidak mau terkabar oleh apinya.
Wassalam.
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon