Wanita tersebut perawakannya
tinggi, dengan rambut panjang sampai pinggul. Selalu diikat dengan
pengikat rambut. Model rambut kuncir kuda. Kulitnya sawo matang. Tetapi yang
membuatku selalu teringat adalah hidungnya yang besar untuk seorang wanita. Tetapi
itu semua terpadu dengan wajah ovalnya.
Aku belum mengenalnya ketika
kelas 10. Dia masuk kelas X.4 sedangkan aku di kelas X.2. Sesekali bertemu
ketika berjalan menuju perpustakaan atau ke kantin. Hanya sekali dua kali
bertatapan langsung dengannya. Tidak lebih. Bukan maksud sombong atau pamer. Namaku
mungkin sedikit terkenal di seluruh sekolah ketika ujian semester pertama
mendapatkan nilai 100 untuk pelajaran kimia.
Ketika kelas 11, aku masuk ke
kelas XI IPA 2 sedangkan dia di XI IPA 1. Aku masih belum begitu mengenalnya
seperti satu tahun sebelumnya. Dia sibuk berkutat dengan organisasi OSIS dan
Pramuka. Yang notabene tidak
aku sukai. Dan lebih memilih organisasi Rohis.
Tetapi semua berubah ketika
menginjak tahun ketiga SMA. Tiba-tiba, kami disatukan dalam satu kelas. Ya,
Kelas XII IPA 3. Aku sekarang lebih banyak melihat wajahnya. Tahu kesehariannya
di kelas. Tahu perilakunya di dalam kelas. Tetapi hanya sebatas itu. Lagi-lagi
tidak lebih. Dan tidak kurang. Walau terkadang aku berkomunikasi langsung
dengannya. Dalam batasan pelajaran belaka. Karena saat itu aku lebih mengangumi
seseorang di kelas sebelah.
Pernah ketika sepulang sekolah,
aku masih membaca buku di bangku paling belakang. Karena memang tempat dudukku
paling belakang. Ujug-ujug dia
masuk ke kelas kembali dengan wajah panik. Aku berhenti membaca tetapi masih
dengan sikap tak acuh. Dia membongkar laci meja. Membongkar, melihat dan sekali
mengecek tas kembali. Ada apakah gerangan? Masih belum berminat
mengetahui lebih lanjut.
Dia memandangku. “Kamu lihat hpku
di meja?” tanyanya masih dengan wajah panik. Aku menggeleng. Dia lagi-lagi
mengecek laci meja dengan wajah pasrah.
“Ndak ketemu?” tanya Dewi yang
ikut masuk ke kelas lagi. Dia menggeleng. Aku tahu dia hendak menangis
mendapati hp-nya hilang di dalam kelas.
Itulah satu kejadian yang membuatku
berduaan di dalam kelas. Meski dalam kondisi yang tidak menyenangkan karena dia
kehilangan hp. Tetapi lagi-lagi, aku masih belum begitu dekat dengannya atau
rasa mengangumiku belum mekar.
****
Tahun 2008 kami menjalani Ujian
Nasional. Lagi-lagi aku sekelas dengannya. Hanya berjarak dua kursi darinya.
Karena memang huruf depan nama kami sama inisialnya. Aku menjadi pusat bertanya
karena memang aku sedikit lebih tahu tentang pelajaran. Tidak terkecuali dia
bertanya kepadaku.
Waktu itu pelajaran kimia.
Pelajaran favoritku. Waktu sudah setengah jalan. Kegelisahan sudah mulai tampak
dari teman-teman sekelas. Aku pun juga mengakui soal kali ini memang sedikit
menguras tenaga dalam pengerjaannya. Aku memandangi wajah teman lainnya satu
per satu. Ketika pandangan jatuh kepadanya. Dia tersenyum kepadaku. Entah
perasaan apa ini.
Setelah tersenyum dia berusaha
memberikan kode meminta jawaban nomor tertentu. Lagi-lagi dengan senyum
khasnya. Meski tidak ada lesung pipit di pipinya. Tak apalah.
Entah iba atau karena perasaan
lain, aku memberikan kode jawaban yang dimintanya. Tentu dengan sandi jari.
Satu jari untuk a, dua jari untuk b, tiga jari untuk jawaban c, empat jari
untuk d dan lima jari untuk jawabane. Berangsur rasa cemasnya pudar setelah
mendapatkan jawaban nomor yang dikiranya sulit. Penutupnya tentu, memberikan
senyum termanisnya kepadaku. Aku memandangi teman yang lainnya.
Itulah senyuman yang aku peroleh
darinya. Entah tulus dalam hati atau hanya kamuflase
untuk mendapatkan jawaban. Aku juga tidak memikirkannya sampai di situ.
****
Tiba hari kelulusan.
Alhamdulillah sekolah kami, SMA Negeri 1 Grobogan, lulus 100%. Tidak ada
kesedihan, melainkan luapan kebahagiaan. Ada yang menangis bahagia. Ada yang
bersujud bersyukur. Berpelukan kemudian berlonjakan karena senyawa kimia
bahagia di dalam otak.
Dan acara coret-coret baju
berlanjut. Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba beberapa kawan menghampirku
memberikan spidol hitam. Menyodorkan bagian bajunya untuk ditandatangani. Tidak
ketinggalan cat warna menambah keceriaan pagi itu. Semua tampak bahagia.
Aku juga lupa apakah dia meminta
tanda tangan di bajunya. Aku tidak mengingatnya. Yang pasti pagi itu hari
kebahagiaan untuk semua murid kelas XII Smansagan. Dan siap menyambut masa
depan di depan. Entah jalan apa yang mereka bakal ambil dan tempuh. Tidak ada
yang tahu. Sama halnya denganku yang tidak memikirkan apakah nanti melanjutkan
kuliah atau tidak.
Terdengar percakapan dari
beberapa teman yang saling memamerkan almamater mereka selanjutnya satu sama
lain. Ada yang melanjutkan ke Semarang. Ada yang ke Solo. Ada sebagian yang ke
Jogjakarta. Aku juga tahu dari obrolan tersebut kalau dia melanjutkan ke salah
satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta.
****
Jalan hidup memang siapa yang
tahu. Kita hanya bisa berencana dan berusaha. Aku memutuskan untuk tidak
melanjutkan kuliah dikarenakan masalah biaya dan keluarga. Aku tidak begitu
merisaukannya. Apakah harus minder dengan mereka yang kuliah? Ada juga rasa itu
tersemat sedikit di hati.
Tahun itu sedang booming dengan
sosial media, mig33. Tak terkecuali aku, bermodalkan nokia 6030 pembelian
kakak. Melalui mig33-lah kedekatanku dengannya mulai intens. Meski hanya
sekadar lewat percakapan dunia maya.
Vi0_tatsuya: Hai…
De_vi0: Hai juga, gimana
kabarmu?
Vi0_tatsuya: Alhamdulillah
baik, gimana kabarmu? Kuliah lancar?
De_vi0: Alhmdulillah juga
baik. Lancar kok.
Dan percakapan terjadi dengan
sendirinya. Memang tidak pernah sekalipun kita membahas tentang masalah pacar
atau perasaan. Membuatku seolah dekat dengannya. Aku juga masih belum mengerti
tentang perasaan yang kurasakan saat ini. Sama persis ketika melihat senyumnya
ketika ujian nasional. Ini murni perasaan sahabatkah? Camku dalam hati.
****
Saat itu dia masih disibukkan
dengan agenda padat perkuliahan. Sedangkan aku masih berkutat di rumah membantu
orang tua di sawah. Tiba-tiba kedekatanku dengannya mulai terdengar ke beberapa
teman SMA dulu. Mulailah mereka menggoda kami berdua.
Bagiku itu hanya godaan gurauan
mereka berdua. Tetapi entah mengapa semakin hari perasaan ini mulai tumbuh.
Meski aku juga belum paham arti semua ini. Biarlah aku pendam sendiri. Perasaan
seorang sahabat, aku tekankan sekali lagi.
Tiba-tiba dia menghubungiku
meminta bantuan,
“Aku boleh meminta bantuan gak?”
suaranya dari seberang
“Bantuan apa?”
“Kalau kamu tidak sibuk. Aku mau
minta diajari pelajaran matematika, fisika dan kimia SMA. Itupun kalau kamu
tidak sibuk!” lanjutnya sedikit ragu.
“InsyaAllah bisa. Mau diajari
kapan?”
“Minggu depan ya. Datang ke
rumahku. Terima kasih!”
Tuts. Percakapan selesai.
Benar saja. Minggunya dia
memberikan kabar kalau sudah di rumah. Akupun menyiapkan beberapa buku sebagai
bahan untuk mengajarinya kelak. Memang untuk apa dia belajar pelajaran IPA
lagi? Bukankah dia mengambil jurusan ekonomi? Tanyaku sendiri.
Malam harinya kami berdua
berkutat di ruang tamu rumahnya. Rumahnya besar. Karena orangtuanya yang
seorang pegawai negeri salah satu instansi pemerintah. Hingga kami pun lupa
akan waktu belajar. Jam dindingnya menunjukkan pukul 10 malam. Astaghfirullah,
ucapku dalam hati. Aku pun takut dicap oleh keluarganya karena bertamu kelewat
malam. Akhirnya sesi belajarnya aku sudahi mengingat sudah malam. Itu yang
pertama.
Yang kedua adalah ketika kita
reuni kecil-kecilan dan memutuskan untuk ke Pantai Bandengan Jepara. Tidak tahu
ide siapa, dia berboncengan denganku. Ini pasti persekongkolan teman-teman
lainnya. Dia masih seperti pertama kali aku jumpai kelas 10. Perawakannya masih
tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya masih sama dirangkai dengan wajah ovalnya.
Dan sialnya, kami pulang agak
malam. Dikarenakan tadi ada yang memaksa ke Pulau Panjang segala. Dia sudah
ditelpon ibunya sebelum Magriban. Memintanya untuk segera pulang. Aku yang
bertugas mengantarnya pulang juga sedikit ciut ketika harus mengahadap ibunya
sebagai permintaan maaf karena mengantarkan anaknya pulang telat. Sungguh aku
tidak ada nyali itu itu! Maafkan aku! Dan sekarangpun aku masih menyesali
perbuatan tersebut.
Mungkin itu yang sedikit membuat
penilaian orangtuanya kepadaku negatif. Lelaki yang tidak gentlemen
mengantarkan anak perawannya pulang. Aku memang pengecut kala itu! Karena boleh
dikatakan pertama kali dan sebab lainnya.
****
Kita melupakan kejadian tersebut.
Meskipun terkadang aku masih mengutuk diriku sendiri.
Aku pun tidak tahu keberanian
darimana yang tiba-tiba menyembul di dalam hati. Membuatku ingin mengutarakan
sesuatu yang selama ini aku rasakan. Singkat memang! Terkadang rasa suka datang
tidak perlu alasan untuk menjawabnya.
Saat itu dia sudah masuk semester
2 di dunia kampus, sedangkan aku masih berkutat di rumah.
“Kamu ada di rumah tidak?”
tanyaku sedikit ragu.
“Di rumah. Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Cuma mau main
saja!” jawabku singkat.
Untuk melangkahkan kaki masuk ke
rumahnya sungguh perjuangan ektra berat. Masih ingat aku kejadian pulang malam.
Karena mendengar dia dimarahi ibumu habis-habisan. Dan dia sampai menangis. Aku
sudah melakukan sesuatu yang membuatnya menangis. Aku hanya tertunduk di
hadapannya.
Oh ya lupa, ketika sudah memasuki
perkuliahan, dia sudha mengenakan jilbab. Sore itu, dia mengenakan jilbab
hitam. Mengenakan blazer warna senada. Seolah mengetahui apa yang akan aku
utarakan. Meski aku tahu dengan memaksakan senyuman. Sungguh berbeda dengan
senyumannya ketika di dalam kelas ujian dahulu. Jujur, untuk mengutarakan
sebuah perasaan kagum bukan tipeku. Apalagi langsung di hadapannya. Dalam hati
pun aku berjudi apakah ini benar atau salah?
Kami berdua terdiam lama. Mulutku
kelu dan kaku untuk bicara. Hingga akhirnya tercairkan ketika dia
berkata, ada yang mau kamu katakan?
Semua susunan kalimat yang aku
siapkan seketika buyar dan tercerai berai. Aku pun sulit harus memulainya dari
mana. Ternyata situasi ini lebih sulit. Lebih mudah mengerjakan soal kimia
sesulit apapun itu. Karena seolah saat ini aku diadili langsung.
“Maaaaffff….,” aku sedikit gugup
dan terbata-bata. “Maaf sebelumnya kalau aku lancang mengucapkan ini ke kamu.
Aku suka sam kamu! Aku pun juga tidak tahu alasannya apa.”
Seketika dia menangis. Aku
semakin serba salah dan kikuk. Apa yang sudah aku lakukan ternyata salah besar
hingga membuatnya menangis! Tidak ada yang bisa aku lakukan. Hanya diam
melihatnya menangis. Hanya remasan jemari yang makin kencang.
“Maaf, sebenarnya aku juga suka.
Tapi maaf kita tidak bisa karena….” dia masih tergugu dalam tangisnya. Ingin
rasanya aku mengusap air mata itu. Tetapi aku masih pengecut.
Seketika itu pendengaranku terasa
hilang. Aku tenggalam dalam dunia yang hampa. Sudah tidak bisa mendengarkan apa
yang dia katakan lagi. Kesadaranku kembali. Bukan jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’
yang sebenarnya ingin kudapatkan. Hanya sebatas agar dia tahu apa yang
kurasakan selama ini.
Aku masih menunduk takzim. Di
seberang meja, dia masih sesenggukan menangis. Mengutarakan alasan kenapa dia
harus mengucapkan ‘tidak’. Tetapi aku tidak menghiraukannya.
Kami kembali diam. Sesekali
sesenggukan tangisnya memecah kediaman.
“Terima kasih sudah mau
mendengarkanku tadi. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi. Terima
kasih ya! Aku pulang dulu!”
Aku beranjak berdiri dengan hati
yang seolah diserang ribuan pisau yang tidak tahu darimana datangnya. Aku
tersenyum dan berjabat tangan dengannya. Dia lirih berujar, maaf!
Itulah terakhir kali aku
berkunjung ke rumahnya.
****
6 tahun sudah berlalu. Setelah
kejadian tersebut, kami masih sering berkomunikasi.
Entah sampai sekarang perasaan
tersebut masih ada atau tidak di antara hati kami berdua. Aku masih kikuk kala
berjumpa dengan jikalau teringat kejadian 6 tahun silam. Dan hanya terkekeh
merutuki di dalam hati.
Dia masih terlihat sama. Wanita dengan perawakan
tinggi. Dengan rambut panjang yang sudah tertutup jilbab. Kulit sawo matangnya
dan tentu dengan hidungnya yang besar dipadu dengan wajah yang oval
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon