Wanita Itu Bernama….


Wanita tersebut perawakannya tinggi, dengan rambut panjang sampai pinggul. Selalu diikat dengan pengikat rambut. Model rambut kuncir kuda. Kulitnya sawo matang. Tetapi yang membuatku selalu teringat adalah hidungnya yang besar untuk seorang wanita. Tetapi itu semua terpadu dengan wajah ovalnya.

Aku belum mengenalnya ketika kelas 10. Dia masuk kelas X.4 sedangkan aku di kelas X.2. Sesekali bertemu ketika berjalan menuju perpustakaan atau ke kantin. Hanya sekali dua kali bertatapan langsung dengannya. Tidak lebih. Bukan maksud sombong atau pamer. Namaku mungkin sedikit terkenal di seluruh sekolah ketika ujian semester pertama mendapatkan nilai 100 untuk pelajaran kimia.

Ketika kelas 11, aku masuk ke kelas XI IPA 2 sedangkan dia di XI IPA 1. Aku masih belum begitu mengenalnya seperti satu tahun sebelumnya. Dia sibuk berkutat dengan organisasi OSIS dan Pramuka. Yang notabene tidak aku sukai. Dan lebih memilih organisasi Rohis.

Tetapi semua berubah ketika menginjak tahun ketiga SMA. Tiba-tiba, kami disatukan dalam satu kelas. Ya, Kelas XII IPA 3. Aku sekarang lebih banyak melihat wajahnya. Tahu kesehariannya di kelas. Tahu perilakunya di dalam kelas. Tetapi hanya sebatas itu. Lagi-lagi tidak lebih. Dan tidak kurang. Walau terkadang aku berkomunikasi langsung dengannya. Dalam batasan pelajaran belaka. Karena saat itu aku lebih mengangumi seseorang di kelas sebelah.

Pernah ketika sepulang sekolah, aku masih membaca buku di bangku paling belakang. Karena memang tempat dudukku paling belakang. Ujug-ujug dia masuk ke kelas kembali dengan wajah panik. Aku berhenti membaca tetapi masih dengan sikap tak acuh. Dia membongkar laci meja. Membongkar, melihat dan sekali mengecek tas kembali. Ada apakah gerangan? Masih belum berminat mengetahui lebih lanjut.

Dia memandangku. “Kamu lihat hpku di meja?” tanyanya masih dengan wajah panik. Aku menggeleng. Dia lagi-lagi mengecek laci meja dengan wajah pasrah.

“Ndak ketemu?” tanya Dewi yang ikut masuk ke kelas lagi. Dia menggeleng. Aku tahu dia hendak menangis mendapati hp-nya hilang di dalam kelas.

Itulah satu kejadian yang membuatku berduaan di dalam kelas. Meski dalam kondisi yang tidak menyenangkan karena dia kehilangan hp. Tetapi lagi-lagi, aku masih belum begitu dekat dengannya atau rasa mengangumiku belum mekar.
****

Tahun 2008 kami menjalani Ujian Nasional. Lagi-lagi aku sekelas dengannya. Hanya berjarak dua kursi darinya. Karena memang huruf depan nama kami sama inisialnya. Aku menjadi pusat bertanya karena memang aku sedikit lebih tahu tentang pelajaran. Tidak terkecuali dia bertanya kepadaku.

Waktu itu pelajaran kimia. Pelajaran favoritku. Waktu sudah setengah jalan. Kegelisahan sudah mulai tampak dari teman-teman sekelas. Aku pun juga mengakui soal kali ini memang sedikit menguras tenaga dalam pengerjaannya. Aku memandangi wajah teman lainnya satu per satu. Ketika pandangan jatuh kepadanya. Dia tersenyum kepadaku. Entah perasaan apa ini.

Setelah tersenyum dia berusaha memberikan kode meminta jawaban nomor tertentu. Lagi-lagi dengan senyum khasnya. Meski tidak ada lesung pipit di pipinya. Tak apalah.

Entah iba atau karena perasaan lain, aku memberikan kode jawaban yang dimintanya. Tentu dengan sandi jari. Satu jari untuk a, dua jari untuk b, tiga jari untuk jawaban c, empat jari untuk d dan lima jari untuk jawabane. Berangsur rasa cemasnya pudar setelah mendapatkan jawaban nomor yang dikiranya sulit. Penutupnya tentu, memberikan senyum termanisnya kepadaku. Aku memandangi teman yang lainnya.

Itulah senyuman yang aku peroleh darinya. Entah tulus dalam hati atau hanya kamuflase untuk mendapatkan jawaban. Aku juga tidak memikirkannya sampai di situ.
****

Tiba hari kelulusan. Alhamdulillah sekolah kami, SMA Negeri 1 Grobogan, lulus 100%. Tidak ada kesedihan, melainkan luapan kebahagiaan. Ada yang menangis bahagia. Ada yang bersujud bersyukur. Berpelukan kemudian berlonjakan karena senyawa kimia bahagia di dalam otak.

Dan acara coret-coret baju berlanjut. Entah siapa yang memulai. Tiba-tiba beberapa kawan menghampirku memberikan spidol hitam. Menyodorkan bagian bajunya untuk ditandatangani. Tidak ketinggalan cat warna menambah keceriaan pagi itu. Semua tampak bahagia.

Aku juga lupa apakah dia meminta tanda tangan di bajunya. Aku tidak mengingatnya. Yang pasti pagi itu hari kebahagiaan untuk semua murid kelas XII Smansagan. Dan siap menyambut masa depan di depan. Entah jalan apa yang mereka bakal ambil dan tempuh. Tidak ada yang tahu. Sama halnya denganku yang tidak memikirkan apakah nanti melanjutkan kuliah atau tidak.

Terdengar percakapan dari beberapa teman yang saling memamerkan almamater mereka selanjutnya satu sama lain. Ada yang melanjutkan ke Semarang. Ada yang ke Solo. Ada sebagian yang ke Jogjakarta. Aku juga tahu dari obrolan tersebut kalau dia melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi swasta di Jogjakarta.
****

Jalan hidup memang siapa yang tahu. Kita hanya bisa berencana dan berusaha. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah dikarenakan masalah biaya dan keluarga. Aku tidak begitu merisaukannya. Apakah harus minder dengan mereka yang kuliah? Ada juga rasa itu tersemat sedikit di hati.

Tahun itu sedang booming dengan sosial media, mig33. Tak terkecuali aku, bermodalkan nokia 6030 pembelian kakak. Melalui mig33-lah kedekatanku dengannya mulai intens. Meski hanya sekadar lewat percakapan dunia maya.

Vi0_tatsuya: Hai…

De_vi0: Hai juga, gimana kabarmu?

Vi0_tatsuya: Alhamdulillah baik, gimana kabarmu? Kuliah lancar?

De_vi0: Alhmdulillah juga baik. Lancar kok.

Dan percakapan terjadi dengan sendirinya. Memang tidak pernah sekalipun kita membahas tentang masalah pacar atau perasaan. Membuatku seolah dekat dengannya. Aku juga masih belum mengerti tentang perasaan yang kurasakan saat ini. Sama persis ketika melihat senyumnya ketika ujian nasional. Ini murni perasaan sahabatkah? Camku dalam hati.
****

Saat itu dia masih disibukkan dengan agenda padat perkuliahan. Sedangkan aku masih berkutat di rumah membantu orang tua di sawah. Tiba-tiba kedekatanku dengannya mulai terdengar ke beberapa teman SMA dulu. Mulailah mereka menggoda kami berdua.

Bagiku itu hanya godaan gurauan mereka berdua. Tetapi entah mengapa semakin hari perasaan ini mulai tumbuh. Meski aku juga belum paham arti semua ini. Biarlah aku pendam sendiri. Perasaan seorang sahabat, aku tekankan sekali lagi.

Tiba-tiba dia menghubungiku meminta bantuan,

“Aku boleh meminta bantuan gak?” suaranya dari seberang

“Bantuan apa?”

“Kalau kamu tidak sibuk. Aku mau minta diajari pelajaran matematika, fisika dan kimia SMA. Itupun kalau kamu tidak sibuk!” lanjutnya sedikit ragu.

“InsyaAllah bisa. Mau diajari kapan?”

“Minggu depan ya. Datang ke rumahku. Terima kasih!”

Tuts. Percakapan selesai.

Benar saja. Minggunya dia memberikan kabar kalau sudah di rumah. Akupun menyiapkan beberapa buku sebagai bahan untuk mengajarinya kelak. Memang untuk apa dia belajar pelajaran IPA lagi? Bukankah dia mengambil jurusan ekonomi? Tanyaku sendiri.

Malam harinya kami berdua berkutat di ruang tamu rumahnya. Rumahnya besar. Karena orangtuanya yang seorang pegawai negeri salah satu instansi pemerintah. Hingga kami pun lupa akan waktu belajar. Jam dindingnya menunjukkan pukul 10 malam. Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku pun takut dicap oleh keluarganya karena bertamu kelewat malam. Akhirnya sesi belajarnya aku sudahi mengingat sudah malam. Itu yang pertama.

Yang kedua adalah ketika kita reuni kecil-kecilan dan memutuskan untuk ke Pantai Bandengan Jepara. Tidak tahu ide siapa, dia berboncengan denganku. Ini pasti persekongkolan teman-teman lainnya. Dia masih seperti pertama kali aku jumpai kelas 10. Perawakannya masih tinggi, kulitnya sawo matang, hidungnya masih sama dirangkai dengan wajah ovalnya.

Dan sialnya, kami pulang agak malam. Dikarenakan tadi ada yang memaksa ke Pulau Panjang segala. Dia sudah ditelpon ibunya sebelum Magriban. Memintanya untuk segera pulang. Aku yang bertugas mengantarnya pulang juga sedikit ciut ketika harus mengahadap ibunya sebagai permintaan maaf karena mengantarkan anaknya pulang telat. Sungguh aku tidak ada nyali itu itu! Maafkan aku! Dan sekarangpun aku masih menyesali perbuatan tersebut.

Mungkin itu yang sedikit membuat penilaian orangtuanya kepadaku negatif. Lelaki yang tidak gentlemen mengantarkan anak perawannya pulang. Aku memang pengecut kala itu! Karena boleh dikatakan pertama kali dan sebab lainnya.
****

Kita melupakan kejadian tersebut. Meskipun terkadang aku masih mengutuk diriku sendiri.
Aku pun tidak tahu keberanian darimana yang tiba-tiba menyembul di dalam hati. Membuatku ingin mengutarakan sesuatu yang selama ini aku rasakan. Singkat memang! Terkadang rasa suka datang tidak perlu alasan untuk menjawabnya.

Saat itu dia sudah masuk semester 2 di dunia kampus, sedangkan aku masih berkutat di rumah.

“Kamu ada di rumah tidak?” tanyaku sedikit ragu.

“Di rumah. Ada apa?”

“Tidak apa-apa. Cuma mau main saja!” jawabku singkat.

Untuk melangkahkan kaki masuk ke rumahnya sungguh perjuangan ektra berat. Masih ingat aku kejadian pulang malam. Karena mendengar dia dimarahi ibumu habis-habisan. Dan dia sampai menangis. Aku sudah melakukan sesuatu yang membuatnya menangis. Aku hanya tertunduk di hadapannya.

Oh ya lupa, ketika sudah memasuki perkuliahan, dia sudha mengenakan jilbab. Sore itu, dia mengenakan jilbab hitam. Mengenakan blazer warna senada. Seolah mengetahui apa yang akan aku utarakan. Meski aku tahu dengan memaksakan senyuman. Sungguh berbeda dengan senyumannya ketika di dalam kelas ujian dahulu. Jujur, untuk mengutarakan sebuah perasaan kagum bukan tipeku. Apalagi langsung di hadapannya. Dalam hati pun aku berjudi apakah ini benar atau salah?

Kami berdua terdiam lama. Mulutku kelu dan kaku untuk bicara. Hingga akhirnya tercairkan ketika dia berkata, ada yang mau kamu katakan?

Semua susunan kalimat yang aku siapkan seketika buyar dan tercerai berai. Aku pun sulit harus memulainya dari mana. Ternyata situasi ini lebih sulit. Lebih mudah mengerjakan soal kimia sesulit apapun itu. Karena seolah saat ini aku diadili langsung.

“Maaaaffff….,” aku sedikit gugup dan terbata-bata. “Maaf sebelumnya kalau aku lancang mengucapkan ini ke kamu. Aku suka sam kamu! Aku pun juga tidak tahu alasannya apa.”

Seketika dia menangis. Aku semakin serba salah dan kikuk. Apa yang sudah aku lakukan ternyata salah besar hingga membuatnya menangis! Tidak ada yang bisa aku lakukan. Hanya diam melihatnya menangis. Hanya remasan jemari yang makin kencang.

“Maaf, sebenarnya aku juga suka. Tapi maaf kita tidak bisa karena….” dia masih tergugu dalam tangisnya. Ingin rasanya aku mengusap air mata itu. Tetapi aku masih pengecut.

Seketika itu pendengaranku terasa hilang. Aku tenggalam dalam dunia yang hampa. Sudah tidak bisa mendengarkan apa yang dia katakan lagi. Kesadaranku kembali. Bukan jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’ yang sebenarnya ingin kudapatkan. Hanya sebatas agar dia tahu apa yang kurasakan selama ini.

Aku masih menunduk takzim. Di seberang meja, dia masih sesenggukan menangis. Mengutarakan alasan kenapa dia harus mengucapkan ‘tidak’. Tetapi aku tidak menghiraukannya.

Kami kembali diam. Sesekali sesenggukan tangisnya memecah kediaman.

“Terima kasih sudah mau mendengarkanku tadi. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah terjadi. Terima kasih ya! Aku pulang dulu!”

Aku beranjak berdiri dengan hati yang seolah diserang ribuan pisau yang tidak tahu darimana datangnya. Aku tersenyum dan berjabat tangan dengannya. Dia lirih berujar, maaf!

Itulah terakhir kali aku berkunjung ke rumahnya.
****

6 tahun sudah berlalu. Setelah kejadian tersebut, kami masih sering berkomunikasi.

Entah sampai sekarang perasaan tersebut masih ada atau tidak di antara hati kami berdua. Aku masih kikuk kala berjumpa dengan jikalau teringat kejadian 6 tahun silam. Dan hanya terkekeh merutuki di dalam hati.

Dia masih terlihat sama. Wanita dengan perawakan tinggi. Dengan rambut panjang yang sudah tertutup jilbab. Kulit sawo matangnya dan tentu dengan hidungnya yang besar dipadu dengan wajah yang oval

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon