Mengejar Layangan


Dulu ketika masuk musim kemarau setiap sore pasti anak-anak bermain layangan. Petekan, kalau kami di desa menyebutnya. Berjejer petekan warna-warni menghiasi langit sore. Mulai dari anak kecil, remaja bahkan yang dewasa pun tidak mau kalah. Memamerkan petekan atau sowangan miliknya.

Sowangan adalah jenis layangan yang memiliki sayap dan buntut di bawahnya. Kebanyakan diterbangkan orang dewasa. Karena jarang sekali anak kecil yang mau susah payah membuatnya. Sowanganjarang sekali diperjual-belikan, kebanyakan dibuat sendiri. Maka tidak heran pelbagai jenis sowangan dan petekan dengan keunikan campuran warna kertas minyaknya.

Banyak sekali keasyikan yang bisa didapatkan ketika bermain layangan. Mereka akan pamer ketinggian layangan. Semakin tinggi layanganmu semakin jumawalah pemiliknya. “Deloken kae petekanku duwure jan ra karuan. Wenanmu ora enek apa-apane babar blas!”

Sebelum petekan bisa mengudara di atas langit sore. Harus melalui perlbagai ritual untuk bisa stabil terbang. Apalagi untuk awal mula memiliki atau menerbangkan layangan. Mencari keseimbangan di langit sangatlah sulit. Yang pertama adalah dalam hal goci-menggoci. Goci adalah landasan atau fondasi dasar dalam menerbangkan layangan. Menentukan jarak yang pas untuk membuat simpul. Jarang sekali orang bisa menggoci layangan ketika diterbangkan lantas angkuh di langit tidak serong kanan dan kiri terlebih dahulu. Jarang sekali. Jarang. Biasanya layangan yang begini disebut layangan gundul. Karena tidak akan ada embel-embel kertas di buntutnya atau kanan kirinya.

Ndilalah kami sewaktu kecil tidak sejenius dan sepandai dalam hal menggoci. Jadilah layangan kami ketika hendak take off tidak pernah mulus. Kalau tidak muter seser. Ya serong kanan atau kiri kemudian nubruk ke tanah. Solusinya harus diberi pemberat di bagian buntut dan anting-anting (untuk bagian kanan kiri). Maka jangan heran ketika ndangak ke langit banyak sekali layangan yang memiliki buntut panjangnya kadang naudzubillah melebihi tinggi pemiliknya. Lumrah.

Meskipun begitu tetap ada beberapa anak yang tidak memiliki layangan. Bisa karena tidak dikasih ijin orangtuanya bermain layangan atau kebanyakan tidak dibelikan layangan. Biasanya orang-orang ini kerap dijadikan sebagai pembantu lepas landas sebuah layangan.

Jadi si pemilik layangan mengolor bolah sepanjang mungkin. Sedangkan dilain ujung berdirilah orang yang tadi tidak punya layangan memegang layangan. Ketika menerima perintah dari pemilik layangan. Si dia akan menguncalkan layangan ke atas kemudian giliran si pemilik berlari agar layangannya naik ke langit. Begitu mudah? Tidak semua berjalan mudah. Apalagi kalau anginnya rasan-rasan berhembus. Kedua belah pihak ini akan saling menyalahkan.

“Asuu po kowe ki, iso ngumbulke tah ora? Ket mau kok ora mumbul-mumbul!” teriak si pemilik layangan yang sudah ngos-ngosan berlari.

“Pejoh opo we. Kowe kuwi sing mlayu ra banter. Masamu ora kesel tah piye nyekeli,” sahut si pengumbul.

Dan adu pisuhan pun terjadi. Padahal masalah utamanya adalah tidak adanya angin berhembus. Setelah layangan berhasil mengudara. Kedua insan tersebut akur kembali. Simpel.

Untuk sowangan, biasanya diberi alat khusus untuk mengeluarkan bunyi. Atau kami dulu menyebutnya gambreng. Terbuat dari sebilah bambu yang diberi pita jepang. Ketika diterpa angin akan mengeluarkan bunyi breng..brengg..brenggg. Tetapi ada juga yang mengganti pita jepang dengan serat karung beras dikarenakan harga pita jepang yang lumayan mahal kala itu. Toh, bunyinya juga sama. Mak brenggggg.

Selain itu juga, kebanyakan sowangan harus menggunakan benang sepatu. Melihat ukuran dan berat sowangan yang lebih besar dari petekan. Bahkan tidak jarang benang sepatu tersebut diolesi bbuk pecahan kaca. Sebagai alat perang ketika ada pertarungan antar sowangan. Khususon sowangan ada yang dipanjer sampai malam hari. Jadi ya terdengar suara mbengeng di langit setiap malam hari.

Apakah tidak takut hilang? Lagian mana ada maling yang mau mencuri sowangan. Kalaupun hilang kalau tidak putus ya jatuh ketika menjelang pagi.

Tetapi itu bukan puncak dari ritual bermain petekan maupun sowangan. Puncak dari bermain layangan adalah ketika ada sebuah petekan atau sowangan putus. Itulah hal yang paling dinantikan. Karena hal tersebut memaksa kita mengeluarkan jurus berlari paling cepat dan kelihaian menangkap.

Ketika terdengar ada suara “Petekan pedot!” atau “Sowangan pedot!”. Sontak membuat semua mata akan tertuju ke langit. Mencari objek yang dimaksud lantas ikut berlari mengejar. Lebih aneh lagi layangan belum tertangkap pun sudah pada perang mulut.

“Kae sowangan bagianku!”

“Kakeanem, durung keno wae wis guemede!”

“Gatel-gatel, do kokean cangkem tenan. Penting ki mlayu disik sopo sing pertama nyekel yo kuwi sing menang!”

Disinilah pertemanan dan persahabatan diuji. Tak ayal terkadang adu jotos bisa terjadi jikalau sowangannya bagus dan besar. Biasanya kalau si pemilik tetap ngotot meminta layangannya balik. Sowanganatau petekan  tersebut akan diblong–blong kertas minyaknya. Atau terkadang si penangkap lebih memilih benangnya daripada layangannya.

Mungkin dari sinilah asal muasal. Kenapa kita senang sekali kalau ada teman yang putus asmara. Putus cinta. Putus dengan pacarnya.

Entah berniat menangkap si wanitanya yang sudah putus atau ada motif lain kita tidak tahu.

Sayang seribu sayang, sekarang sudah tidak ada lagi keramaian anak-anak bermain layangan di sore hari. Sudah tergerus oleh kemajuan gadget. Mereka lebih memilih mentelengi layar hp daripada harus berlarian di sawah bermain layangan.

Duh Gusti, andai mengejar jodoh semudah mengejar layangan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon