Obrolan Ngalor Ngidul #2


Manusia hidup memang tidak pernah lepas dari yang namanya masalah. Memang begitu pula adanya. Orang yang tidak pernah punya masalah ialah orang yang sudah mati atau meninggal. Hanya dengan masalahlah kita bisa naik kelas dalam ujian kehidupan.

Malam itu kita bertiga berkumpul di kontrakannya Lukman yang ada di Mranggen, Demak. Reuni kecil-kecilan sembarimelepas kangen. Lukman meneruskan hidup sesuai dengan jalur akademisnya, yaitu menjadi seorang guru olahraga. Sedangkan saya dan Soni masih belum menemukan pakem mana yang harus kami perjuangkan. Meski setidaknya itu sudah mulai sedikit terang.

Oh ya lupa, Lukman tinggal bersama istrinya. Istrinya sudah masuk kandungan lima bulan. Badjingan sekali memang, di saat kita berdua masih fakir asmara. Dia hendak menjadi seorang ayah dalam hitungan bulan. Saudara macam apa itu, hehehe. Setidaknya kami bersyukur bahwa “anunya” bisa buat istrinya “mplenting”.
Tak elok rasanya yang namanya melekan tidak ditemani dengan segelas kopi. Walau pilihannya hanya kopi instan.

“Aku diberi modal bapak ibuku 15juta, Lek. Aku bingung mau usaha apa?” curhat Soni dengan menyesap kopi panasnya.

"Lha kok iso diwenehi modal semunu?"

"Mbokku mbi bapakku gregeten Lek. Dungokno suoro-suoro sing ora kepenak. Ndelok anake sarjana sampai saiki kok durung kerjo-kerjo. Akhire diwenehi duit semunu mau."

“Lho malah enak iku. Gawe usaha fotocopi wae. Kayake di Pati masih jarang sekali,” sahut Lukman sembari matanya memastikan bahwa istrinya sudah terlelap tidur. Sudah menjadi suami yang serba siaga satu melihat kondisi kehamilan istrinya yang sudah masuk bulan lima.

“Wingi aku yowis takon-takon ruko. Ndilalah oleh ruko ngarep Rumah Sakit Keluarga Sehat. Jaluke 2,5jt setahun.”

“Lha kuwi pas. Cocok. Angger ndang dijupuk. Selak kedisikan wong!” sahut Lukman dengan semangat.

“Mending kamu perkiraan disik. Kira-kira habis berapa itu usaha,” balas saya biar tidak disangka sahabat yang tidak pengertian mendengar keluh kesahnya. “Kowe ra ngeloni bojomu?”

Saya melirik ke Lukman.

“Jiangkrik, nak aku tego kelon karo bojoku. Mesake kowe-kowe kuwi. Mundak kepengen, hahaha.”

Jawaban yang lumayan asyu, tapi masuk akal. Kami tertawa bersama. Memang terkadang semua beban hidup akan nothing di hadapan tawa.

Malam itu kami ngobrol banyak hal. Mulai dari memperkirakan apa-apa yang diperlukan jika membuka usaha fotocopi. Range-range masalah dana. Sampai membahas ke masalah asmara percintaan.

“Jane aku ki dikon bapakku lek ndang nikah-nikah!” keluh Soni.

“Lha ngopo lek gak ndang?” sahut saya.

“Lha ngopo kowe yo lek gak ndang nikah?” Soni balas bertanya.

“Badjingan, takonku wae durung mbok jawab malah gentian takon. Iku panjang ceritane. Nak tak ceritake ora bar-bar mengko, hahaha.”

“Kowe-kowe kuwi mbokyo podo iling umur. Wis meh kepala tiga, lho. Ojo main tangan wae, hahaha,” seloroh Lukman.

“Asyuuuuuuuuu,” jawab kami bersama.

“Aku ki sebenere kadang ki yo iri. Pengen lek ndang duwe bojo. Sepantaranku wis do gendong anak kabeh je. Tapi kadang di sisi lain aku iseh pengen dewean. Kadang yo iseh ragu dewe. Iseh wedi mergo durung duwe penghasilan tetap. Ndilalah pas jawab ngunu kui, diskak Mbokku. Biyen pakmu karo mbokmu iki bar nikah ora kerjo, nyatane yo iso mangan. Mak klakep nu aku nak wis ngunu kuwi.”

“Modyar we, hahaha,” jawab Lukman singkat.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Tiba-tiba, ada suara…

“Yank, lapeeeeeeerrrrrrrrrrrrr!”

Asal suara dari dalam kamar tidur. Suara wanita yang divokalkan agak manja-manja gimana gitu. Taek tenan.

Lukman secara reflek langsung bangun jeng girat masuk ke kamar. Memastikan belahan badan jiwanya itu tidak kenapa-kenapa.

“Yuni ngeleh. Jaluk digawekno mie,” ujar Lukman selepas keluar dari kamar.

Kami berdua hanya tertawa melihat mimik wajahnya yang gimana gitu. Seorang pria tidak boleh kalah dengan wanita atau istri, tetapi bukan berarti dia tidak memiliki kewajiban menghormati dan menghargai istrinya.

“Ni, ketone mangan mie enak yo. Sisan yo,” teriak saya dari ruang tengah.

“Asyuuuuu, gawe dewe!”

Mungkin seperti itulah kelak yang akan kami temui jika memang kami sudah ditakdirkan menikah. Setidaknya kami bisa belajar dari apa yang sudah sahabat kami (Lukman) lalui. Dan kelak kami bisa meminta saran atau masukan atas apa-apa yang sudah mereka lalui bersama. 

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon