Manusia hidup memang tidak pernah
lepas dari yang namanya masalah. Memang begitu pula adanya. Orang yang tidak
pernah punya masalah ialah orang yang sudah mati atau meninggal. Hanya dengan
masalahlah kita bisa naik kelas dalam ujian kehidupan.
Malam itu kita bertiga berkumpul
di kontrakannya Lukman yang ada di Mranggen, Demak. Reuni kecil-kecilan sembarimelepas kangen. Lukman meneruskan hidup sesuai dengan jalur akademisnya, yaitu
menjadi seorang guru olahraga. Sedangkan saya dan Soni masih belum menemukan
pakem mana yang harus kami perjuangkan. Meski setidaknya itu sudah mulai
sedikit terang.
Oh ya lupa, Lukman tinggal
bersama istrinya. Istrinya sudah masuk kandungan lima bulan. Badjingan sekali
memang, di saat kita berdua masih fakir asmara. Dia hendak menjadi seorang ayah
dalam hitungan bulan. Saudara macam apa itu, hehehe. Setidaknya kami bersyukur
bahwa “anunya” bisa buat istrinya “mplenting”.
Tak elok rasanya yang namanya
melekan tidak ditemani dengan segelas kopi. Walau pilihannya hanya kopi instan.
“Aku diberi modal bapak ibuku
15juta, Lek. Aku bingung mau usaha apa?” curhat Soni dengan menyesap kopi
panasnya.
"Lha kok iso diwenehi modal semunu?"
"Mbokku mbi bapakku gregeten Lek. Dungokno suoro-suoro sing ora kepenak. Ndelok anake sarjana sampai saiki kok durung kerjo-kerjo. Akhire diwenehi duit semunu mau."
“Lho malah enak iku. Gawe usaha
fotocopi wae. Kayake di Pati masih jarang sekali,” sahut Lukman sembari matanya
memastikan bahwa istrinya sudah terlelap tidur. Sudah menjadi suami yang serba
siaga satu melihat kondisi kehamilan istrinya yang sudah masuk bulan lima.
“Wingi aku yowis takon-takon
ruko. Ndilalah oleh ruko ngarep Rumah Sakit Keluarga Sehat. Jaluke 2,5jt
setahun.”
“Lha kuwi pas. Cocok. Angger
ndang dijupuk. Selak kedisikan wong!” sahut Lukman dengan semangat.
“Mending kamu perkiraan disik.
Kira-kira habis berapa itu usaha,” balas saya biar tidak disangka sahabat yang
tidak pengertian mendengar keluh kesahnya. “Kowe ra ngeloni bojomu?”
Saya melirik ke Lukman.
“Jiangkrik, nak aku tego kelon
karo bojoku. Mesake kowe-kowe kuwi. Mundak kepengen, hahaha.”
Jawaban yang lumayan asyu, tapi
masuk akal. Kami tertawa bersama. Memang terkadang semua beban hidup akan
nothing di hadapan tawa.
Malam itu kami ngobrol banyak
hal. Mulai dari memperkirakan apa-apa yang diperlukan jika membuka usaha
fotocopi. Range-range masalah dana. Sampai membahas ke masalah asmara
percintaan.
“Jane aku ki dikon bapakku lek
ndang nikah-nikah!” keluh Soni.
“Lha ngopo lek gak ndang?” sahut saya.
“Lha ngopo kowe yo lek gak ndang
nikah?” Soni balas bertanya.
“Badjingan, takonku wae durung
mbok jawab malah gentian takon. Iku panjang ceritane. Nak tak ceritake ora
bar-bar mengko, hahaha.”
“Kowe-kowe kuwi mbokyo podo iling
umur. Wis meh kepala tiga, lho. Ojo main tangan wae, hahaha,” seloroh Lukman.
“Asyuuuuuuuuu,” jawab kami
bersama.
“Aku ki sebenere kadang ki yo
iri. Pengen lek ndang duwe bojo. Sepantaranku wis do gendong anak kabeh je.
Tapi kadang di sisi lain aku iseh pengen dewean. Kadang yo iseh ragu dewe. Iseh
wedi mergo durung duwe penghasilan tetap. Ndilalah pas jawab ngunu kui, diskak
Mbokku. Biyen pakmu karo mbokmu iki bar nikah ora kerjo, nyatane yo iso mangan.
Mak klakep nu aku nak wis ngunu kuwi.”
“Modyar we, hahaha,” jawab Lukman
singkat.
Jam dinding sudah menunjukkan
pukul setengah satu dini hari. Tiba-tiba, ada suara…
“Yank, lapeeeeeeerrrrrrrrrrrrr!”
Asal suara dari dalam kamar
tidur. Suara wanita yang divokalkan agak manja-manja gimana gitu. Taek tenan.
Lukman secara reflek langsung bangun
jeng girat masuk ke kamar. Memastikan belahan badan jiwanya itu tidak
kenapa-kenapa.
“Yuni ngeleh. Jaluk digawekno
mie,” ujar Lukman selepas keluar dari kamar.
Kami berdua hanya tertawa melihat
mimik wajahnya yang gimana gitu. Seorang pria tidak boleh kalah dengan wanita
atau istri, tetapi bukan berarti dia tidak memiliki kewajiban menghormati dan
menghargai istrinya.
“Ni, ketone mangan mie enak yo.
Sisan yo,” teriak saya dari ruang tengah.
“Asyuuuuu, gawe dewe!”
Mungkin seperti itulah kelak yang
akan kami temui jika memang kami sudah ditakdirkan menikah. Setidaknya kami
bisa belajar dari apa yang sudah sahabat kami (Lukman) lalui. Dan kelak kami
bisa meminta saran atau masukan atas apa-apa yang sudah mereka lalui bersama.
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon