Sisi Lain Sholat Tarawih di Indonesia


Marhaban ya Ramadhan, bulan penuh berkah. Keberkahan tersebut salah satunya adalah lahirnya kembali media paling nyinyir se-Indonesia. Mojok. Memberikan secercah harapan bagi mereka yang sudah eneg, muak, bosan dengan berita yang isinya hanya hoax-hoax, kofar-kafir, dema demo ini itu, intimidasi dan lain sebagainya. Mojok hadir sebagai oase dari fenomena yang menyebalkan tersebut.

Di dalam bulan ramadhan yang menjadi pembeda dari bulan-bulan lainya selain berpuasa sebulan penuh ialah shalat taraweh. Karena selain di bulan ramadhan, shalat malam ini tidak kita jumpai. Bisa dikatakan agenda tahunan. Kita tahu sesuatu yang hukumnya wajib, kudu dilakukan. Sedangkan yang sunnah, dilakukan atau tidak, tak ada masalah. Lha masyarakat kita itu terbalik. Sholat lima waktunya ditinjggal, tetapi ketika ramadhan shalat taraweh.

Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia, bahwa ketika awal puasa masjid begitu penuh. Bahkan kadang meluber. Tumpah-tumpah jamaah. Tetapi hal tersebut hanya akan bertahan seminggu awal puasa, setelahnya jamaah bakalan berkurang. Susut. Masalahnya apa? Wallahu alam.

Bahkan salah satu teman saya berujar, “Shalat taraweh itu kan sunah. Cukup di awal sama akhir saja. Tengah-tengah bolong gak papa.” Gak papa ndiasmu.

Dalam dunia per-tarawehan-an Indonesia terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang beraliran 11 rakaat (8 rakaat taraweh 3 rakaat witir). Dan yang kedua, mereka yang beraliran 23 rakaat. Untuk 23 rakaat sendiri mengenai waktu lamanya pun berbeda-beda. Ada yang cepat. Ada juga yang lama. Tergantung imamnya. Bahkan di Blitar ada pondok pesantren yang ketika shalat taraweh 23 rakaat hanya 7 menit. Ya Allah, itu sholat apa ngejar maling. Apa ya tidak kasihan malaikatnya ketika mencatat.”Ini orang lagi sholat apa senam?”

Ketika ditanya lebih memilih 11 rakaat atau 23 rakaat? Mayoritas orang Indonesia lebih suka yang 11 rakaat. Nyatanya banyak yang setelah rakaat kedelapan jamaah pritili satu per satu. Tetapi sekali lagi ya kembali ke imamnya dalam membaca surat. Kadang ada yang imamnya masih muda, baru keluar pondok, ketika memimpin shalat taraweh cepatnya minta ampun. Ndilalah kalo yang ngimami kyai sepuh, bacaan pelan-pelan terus suratnya yang dibaca surat panjang-panjang. Taraweh bisa selesai 2 jam. Buset dah! Kadang kok ya pengen nyeletuk jurus andalannya KH Anwar Zahid “Qul Hu wae Mbah. Sowen!”

Yang sedengan sajalah. Tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lama. Asal rukun tuma’ninahnya terpenuhi. Sholat yang mengabaikan tuma’ninah konon katanya tidak diterima. Lha apakah sholat taraweh meniru tarawehnya orang arab sana tidak boleh? Ya boleh-boleh saja. Tidak ada yang melarang. Mau shalat taraweh semalem baca 1 juz Al Qura’an tidak apa-apa. Tapi lihat jamaahnya itu kayak gimana. Ini Indonesia, bukan Arab Saudi. Yang tiap kali mendengar suara adzan, semua orang kukut menuju ke masjid. Polisi-polisi Arab sana itu malah mengurusi orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah di masjid. Kalo di Indonesia? Dengar adzan saja masih tumakninah di meja kerja. Masih tumakninah meskipun sudah terdengar iqomah. Lha wong polisi di Indonesia masih mengurusi ornag judi, narkoba, teroris, dll.

Lha kalo diajak sholat taraweh berjam-jam, apa ya mereka tidak ngrundel. “Kakeane, taraweh kok yo suwe ne pol”, “Iki taraweh tah opo, sak rakaat wae durung ntuk!”. Tapi giliran pegang hape buat facebookan, berjam-jam kuat mentelengi layar. Karena kebanyakan maish menganggap shalat iru sebatas kewajiban. Hanya sebatas menggugurkan suatu kewajiban. Belum sampai mengarah sebagai kebutuhan. Kita itu sebenarnya butuh Gusti Allah, bukan malah sebaliknya.

Orang Indonesia itu suka pamer. Riya’. Kalau orang dulu pergi ke masjid bawa mushaf al quran, lha sekarang yang dibawa hape. Dikit-dikit cekrek, selfie. Apalagi ini di bulan ramadhan, seolah-olah berlomba-lomba dalam mengabadikan ibadah.

Berangkat ke masjid mau taraweh. Cekrek, selfie. Upload di media sosial dengan caption “Bismillah, berangkat taraweh ke masjid.”

Habis sholat taraweh. Cekrek, selfie. Kasih caption, “Alhamdulillah, taraweh malam kelima.”

Cekrek lagi, kasih caption “Alhamdulillah, hari ini tadarus i juz.”

Dan pelbagai caption-caption yang memamerkan ibadah masing-masing ke publik. Jangan-jangan, kelak ketika sedang sholat. Cekrek, “Alhamdulillah, sedang sholat!” ngaudubillah min jalik.

Tarawih = Pengorbanan
Tarawih adalah sebuah pengorbanan. Lha bagaimana tidak? Kalau di hari-hari biasa selepas isya’ emak-emak sudah standby di depan televisi. Nonton Dangdut Academy, nonton sinetron yang sampai sekarang isinya cinta-cintaan dan berantem mulu sampai sinetron India. Dan emak-emak itu harus rela meninggalkan itu semua. Ini berat, Jeng. Berat. Juga bagi bapak-bapak yang harus memundurkan jam ngopinya di warung kopi selepas taraweh.

Selain untuk beribadah, shalat taraweh terkadang ada maksud tujuan lainnya. Ada yang di bulan-bulan biasa, ngancik masjid pun tidak pernah. Ketika taraweh tiba-tiba ikutan shalat di masjid. Entah hidayah apa yang turun ke kepalanya. Kebanyakan ini untuk emak-emak.

Untuk yang muda-muda biasanya untuk melihat para perawan yang jarang keluar rumah. Sembari cuci mata. Siapa tahu ada yang bisa digebet. Kan lumayan, Mblo!

Dan yang jadi langganan dari tahun ke tahun. Sewaktu kecil saya pun mengalaminya juga. Anak-anak sekolah yang taraweh sambil membawa buku “Kegiatan Bulan Ramadhan.” Ya apalagi kalau bukan utnuk meminta tandatangan dari si kyai untuk disetorkan ke guru agama.

Sebagai penutup, ada satu hal dari kesekian fenomena dan sisi lain sholat tawareh di Indonesia yang mmebuat juengkel. Adalah bapak-bapak yang memakai kaos partai jaman bahuela sebagai daleman baju koko. Ndilalah kok ya baju kokonya tipis jadi terawang. Sumpah, mengganggu konsentrasi shalat. Lha bagaimana tidak? Ketika sudah “Allahu Akbar”, makplek tangan sudah di depan dada. Pandangan ke depan, ada tulisan di baju tersebut, Lanjutkan Bung!

Ngunu kui yo mentolo saya baca. Kan setan.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon