Kenapa Spanduk Warung Pecel Lamongan Menggunakan Kain


Dwi Andri Yatmo - Gerimis belum beranjak sejak sore tadi. Rasanya enak bermalas-malasan di kamar kos-kosan sambil bermain Mobile Legends atau AOV (siapa tahu ketiban pulung dapat 7 M). Tapi perut sepertinya tidak bisa diajak kompromi. Walhasil, meski gerimis masih awet, saya pergi menyusuri sekitar jalan Hasanudin untuk mencari makan.

Sebelumnya, di Jalan Hasanudin, dulu saya pernah menulis tentang Soto Barokah Pak Slamet dan Nasi Goreng Padang.
Kendaraan masih berlalu lalang di jalan yang terdapat genangan air di beberapa sudutnya. Kondisi ini kadang membuat pejalan kaki kecipratan air oleh kendaraan yang tidak punya etika. Bedebah memang.
Perjalananku mencari makan akhirnya terhenti di sebuah warung pecel lele. Laiknya warung-warung khas Lamongan yang memajang spanduk besar, Warung Podo Nduweni Lamongan “Abdul Rozak” Nasi Uduk persis tak berbeda. Panjang nian nama warungnya, batinku. Letaknya di depan gedung Primagama Hasanudin.
Warung ini menggunakan gerobak dengan tenda orange. Mencolok memang. Tempatnya diapit antara dua pohon angsana besar. Sementara sebelahnya, terdapat tempat lesehan meski tidak besar.
Sudah bisa ditebak dari namanya, menu andalan Warung Podo Nduweni adalah nasi uduknya. Tentu saja warung ini juga memberikan pilihan nasi biasa bagi mereka yang tidak begitu suka nasi uduk seperti saya.
Saya harus menunggu beberapa menit sampai lauk pesanan saya selesai digoreng. Tempat lauknya dipisah menggunakan cowek. Tempat yang biasa emak gunakan untuk sambel.



Lele + Sambel Sedeng
Lele + Sambel Sedeng | © Dwi Andri Yatmo

“Sambelnya piye Mas, pedes atau sedeng?”
Lagi-lagi saya ditanya perihal sambel. Warung Podo Nduweni menyediakan dua jenis sambel. Bagi mereka yang suka pedas, bisa memilih sambel pedas. Sambel yang menurut saya disebut sambel brambang. Sedangkan bagi yang tak suka pedas, ada sambel trasi yang ditambahi kacang tanah. Kalian juga bisa memadukan dua jenis sambel ini.
Seorang bapak-bapak sibuk membantu menggoreng lauk-lauk pesanan pembeli. Sepertinya suami dari ibu-ibu tadi. Mungkin dia yang bernama Abdul Rozak, selaku pemilik.
Di luar gerimis belum berhenti. Lauk, nasi dan teh anget sudah siap disantap. Kursi sudah mulai kosong.
“Kok nama warungnya Warung Podo Nduweni Bu?” Saya bertanya pada ibu pemilik warung.
“Saya sudah berjualan di sini puluhan tahun, Nang,” beliau memanggil saya dengan sebutan Nang. Bagi orang kampung, Nang singkatan dari anak lanang. Sapaan untuk mengakrabkan diri.
“Ya warung ini juga warung mereka juga. Podo nduweni, sama-sama memiliki. Antara penjualnya dengan pembelinya. Kalau mereka tidak merasa memiliki di sini mana mau mereka membeli dan langganan, hehehe.” Saya ikut tersenyum. “Intinya saling memiliki. Saya dan mereka (pembeli) sama-sama memiliki warung ini”.



Menu Lauk
Menu Lauk | © Dwi Andri Yatmo
Menu Lauk
Menu Lauk | © Dwi Andri Yatmo

Oh iya, saya sampai lupa menceritakan menu-menu lauknya. Warung pecel ini menyediakan beberapa menu antara lain bebek, ayam, kepala ayam, ceker ayam, burung dara, rempelo ati, lele, bandeng presto, gurame, mujair, dan pindang (gereh). Ditambah pete dan terong sebagai lalapan tambahan.
Saya bertanya tentang rasa penasaran saya: kenapa hampir setiap warung lamongan memakai spanduk kain dengan tulisan yang dilukis. Anggap umumnya seperti itu.
“Spanduk seperti ini dipakai sebagai ciri khas warung Lamongan, Jawa Timur. Ibarate sebagai identitas bagi warung Lamongan satu dengan lainnya.”
Oh begitu, berarti penggunaan spanduk yang seragam inilah yang dijadikan sebagai identitas mereka. Mungkin bagi pecinta bola Indonesia, tak asing jika para suporterPersela Lamongan, LA Mania, membawa atribut dengan tulisan Warung Pecel Lele Lamongan. Ya, siapa tahu ke depan warung pecel lamongam bisa tersemat di kaos punggawa Persela. Kan eksotik.
“Itu yang bantu-bantu jualan siapa Bu?”
“Oh itu ponakan-ponakan di kampung, Nang. Saya mintai tolong bantu-bantu di sini. Daripada mereka di kampung tidak sekolah mending saya ajak kerja di sini. Daripada nganggur di kampung.”
Ini yang selalu saya suka dari para pengusaha. Mereka mendirikan usaha bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk kemaslahatan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Salah satunya menyediakan lapangan pekerjaan. Mengangkat derajat perekonomian bersama.



Bu Abdul Rozak, selaku pemilik warung
Bu Abdul Rozak, selaku pemilik warung. | © Dwi Andri Yatmo

Saya teringat unen-unen Jawa: “urip itu urup”. Hidup itu bisa menerangi kegelapan sekitarmu. Bermanfaat untuk sesama. Jadi, sukses bukan masalah seberapa banyak kamu punya harta. Tapi seberapa banyak kamu bisa bermanfaat untuk lingkungan sekitarmu.
Oh iya, jika kalian ndilalah kok ya lagi selo mampir di Semarang tak ada salahnya mampir ke sini. Selain banyak menu yang tersedia, masalah harga juga masih wajar kok, terjangkaulah untuk anak-nak mahasiswa juga. Yang sedang pedekate sama gebetan tak ada salahnya coba ajak makan ke sini. Ya, siapa tahu setelah ngemplok sambel di sini kebimbangannya hilang dan langsung menerima kamu sebagai teman terbaiknya. Saya jamin itu, asal kalian mampir ke sini ngajak saya juga haha.
Warung Pecel Podo Nduweni buka mulai jam 5 sore sampai habis.
Agaknya banyak yang harus saya renungi selepas makan di sini. Terutama karena gajian masih lama dan isi dompet yang sudah nangis-nangis.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon