Sepotong Kenangan di Warung Soto Barokah Pak Slamet

Dwi Andri YatmoMalam itu gerimis enggan untuk berhenti. Aku langkahkan kaki ini untuk menuju parkiran motor Stasiun Poncol Semarang. Jika rintik gerimis kecil-kecil seperti ini bisa dipastikan lama. Aku arahkan laju motor menuju Jalan Hasanudin.

Setelah melewati rel kereta api, kurang lebih 300 meter dari rel. Tepatnya kanan jalan, terlihat spanduk warung warna kuning mencolok. Warung Soto Barokah Pak Slamet.
Spanduk Warung | © Dwi Andri Yatmo
Ketika masuk ke dalam warung terlihat satu deret meja dan kursi panjang menyambut. Ada juga kursi dan meja yang berada di dalam rumah. Warna hijau mendominasi warung tersebut. Dindingnya hijau muda. Plafon-nya juga demikian. Hanya spanduk depan yang berwarna kuning.

“Pak soto satu ya?” ujarku sembari mencari tempat duduk.

“Mangkuk besar atau mangkuk kecil, Mas?” jawab seorang bapak-bapak gempal menimpali. Agaknya beliau adalah pemilik warung soto ini.

“Mangkuk besar, Pak. Minumnya teh anget saja!”

Di warung ini soto ternyata disajikan dengan dua pilihan wadah. Mangkuk kecil dan besar —mangkuk cap ayam jago. Memudahkan para pembeli ketika hendak makan. Kalau belum makan seharian dan ingin kenyang bisa memilih mangkuk besar. Namun, jika hanya makan selingan (mindho), atau mungkin malu di depan pacar, bisa pilih mangkuk kecil. Meski tidak ada korelasinya. Kalau mangkuk kecil masih terlalu banyak untuk ukuran wanita, bilang saja setengah. Tetap dilayani.

Soto Mangkuk Besar | © Dwi Andri Yatmo
Soto Mangkuk Kecil | © Dwi Andri Yatmo
Alunan musik terdengar dari sound speakers kecil yang ditempatkan dekat kipas angin. Genre musik yang diputar si pemilik warung ini cukup unik. Lagu kasidah Nasida Ria dan selawat langitan. Membuat saya membayangkan masa kecil ketika setiap sore mendengar musik selawat Langitan, Nasida Ria atau musik rebana lainnya. Ketika telinga dulu familier dan hafal lagunya Haddad Alwi dan Sulis. Terasa adem di hati bercampur terenyuh. Membawa kembali puluhan tahun ke belakang, saat-saat masih kecil.

“Monggo mas!” ujar si pemilik membuyarkan lamunan saya.

Satu mangkuk soto sudah tandas di depan saya. Terkadang rasa makanan menjadi bukan tujuan utama, terkalahkan oleh suatu kepuasan hati yang kita dapatkan dari tempat makan tersebut. Bisa Karena nuansa nostalgia sewaktu kecil. Mengingatkan kita kepada momen-momen spesial di dalam hidup.

Satu per satu pembeli mulai meninggalkan warung. Hanya tersisa beberapa pembeli yang ada di dalam warung.

“Kenapa tetap memasang pikulan itu pak?” tunjuk saya yang sedari tadi ingin bertanya banyak hal ke Pak Slamet, si pemilik warung.

“Sebagai pengingat saja, Mas. Dulu awal saya berjualan soto dengan cara dipikul. Ya pakai pikulan atau mbatan ini. Alhamdulillah, sekarang saya sudah bisa menyewa tempat kecil ini. Semoga dengan keberadaan benda ini selalu mengingatkan saya untuk tidak sombong atau takabur. Bahwasanya semua rejeki datangnya dari Allah Swt.”

“Lantas kenapa nama warungnya soto barokah Pak?”

“Barokah dalam bahasa Arab berarti nikmat. Saya berharap selain bisa menyajikan makanan yang nikmat untuk para pembeli. Juga mendatangkan rejeki yang barokah. Dan semoga juga bisa mendatangkan kebaikan bagi kita semua.”

Lagi-lagi terselip sebuah doa dalam pemilihan sebuah nama. Terlepas itu berbau kebarat-baratan, kearab-araban, kejawa-jawaan. Pada intinya sama, ngalap berkah dari nama tersebut.

Pak Slamet, Pemilik Warung Soto Barokah | © Dwi Andri Yatmo
“Pertanyaan terakhir, Pak! Kenapa memilih memutar lagu-lagu islami dan selawatan?”

Pak Slamet hanya tertawa kemudian tersenyum.

“Saya ini orang perantauan Mas. Dulu ketika kecil di kampung. Setiap selepas Salat Asar rumah-rumah yang memiliki CD/DVD player pasti memutar musik Nasida Ria atau selawatan. Atau musik rebana islam lainnya. Dan saat-saat itulah saya merasakan hati ini adem dan damai. Semoga hal itu juga bisa dirasakan bagi pembeli di sini. Dan yang pasti selalu mengingatkan suasana di kampung tempo dulu. Tahu kenapa suatu kenangan itu sangatlah berharga, Mas?”

Pak Slamet berbalik bertanya. Saya hanya menggelengkan kepala tidak tahu.

“Karena kenangan tidak bisa berulang kembali.”

Sebuah kenangan memang mahal harganya. Bahkan tidak bernilai dengan uang.

Jika mampir ke Semarang tak ada salahnya berkunjung ke warung soto ini. Oh ya untuk satu porsi soto mangkuk besar harganya hanya enam ribu sedangkan untuk mangkuk kecil harganya lima ribu. Murah meriah betul, dan siapa tahu di sini teman-teman bisa menemukan secuil kenangan entah apa pun itu.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon