Tradisi Ambengan di Bulan Maulud

Dwi Andri YatmoSenja itu hujan masih enggan berhenti. Tetapi tidak menyurutkan ibu-ibu dan anak kecil untuk datang ke mushola. Sembari membawa baskom yang dibungkus dengan taplak meja. Kami biasa menyebutnya ambengan.

Selepas sholat Magrib, ibu-ibu lainnya berdatangan. Ya. Malam ini kami akan merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Atau orang Jawa menyebutnya Muludan atau Mauludan. Hanya beberapa bapak-bapak saja yang datang. Sedangkan mayoritas yang memenuhi mushola adalah ibu-ibu. Dari yang jamaah sholat sampai yang tidak pernah datang ke mushola. Berkumpul jadi satu ngalab berkah.
Maulid Nabi | Foto: Didik Setiawan
Bulan Maulud selalu identik dengan bacaan sholawat baik di mushola maupun masjid. Yang berbeda dari mushola kami adalah masalah mulainya kegiatan berjanji. Berjanji sebenarnya keseleo lidah dari kata barzanji. Di mushola atau masjid lainnya kegiatan berjanji mulai dilakukan dari tanggal 1 Maulud. Sedangkan di mushola kami, ini juga instruksi dari Pak Yahya selaku kyai mushola, berjanji dilakukan mulai tanggal 12 Maulud bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Seperti biasa Pak Yahya memberikan ceramah tentang kelahiran rasulullah saw. Raja Abrahah dengan pasukan gajahnya ingin menyerbu Ka'bah di Mekkah. Tetapi malah hancur lebur karena serangan burung Ababil yang membaca batu dari neraka. Saat itu pulalah nabi akhir zaman dilahirkan.

Dari tahun ke tahun jamaah laki-laki di mushola selalu sedikit. Padahal dulu sewaktu saya kecil jamaah perempuan yang sedikit. Mungkin benar adanya, bahwa jumlah perempuan itu lebih banyak dibandingkan laki-laki.

"Barangsopo sing gelem sodakohke dalam perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, meski kuwi mung sak jumput misale. Bakalan diganti segede gunung Ukud," kata Pak Yahya menutup sesi ceramahnya.

Kemudian para jamaah semua berdiri membaca srokolan. Sudah lama sekali saya absen dalam kegiatan berjanji. Ingatan saya kembali ke puluhan tahun ke belakang ketika selesai sholat magrib bersemangat memegang mik untuk berjanji. Sampai kadang suara habis dan serak karena begitu semangatnya. Itu semua akan terobati dengan jajanan atau penganan yang akan kita terima setelahnya. Sungguh sederhana bukan.

Malam ini, seolah saya dilempar kembali ke masa itu. Aku lengkingkan suara untuk membaca ayat srokolan. Serak dan fals tidak jadi soal. Toh ini bukan kontes nyanyi. Suara habis juga bukan masalah. Itu semua bisa diobati dengan lahap ambengan yang dibawa. Sekali lagi, masih sesederhana itu.

Selesai Pak Yahya membaca doa. Aamiin. Anak-anak dan ibu-ibu antusias membuka baskom yang dibawanya. Kebanyakan membawa nasi berserta lauk pauknya. Ada juga yang membawa jajanan pasar atau penganan buatan sendiri. Inilah momen yang paling ditunggu-tunggu. Saling jumput atau ambil makanan milik lainnya yang dianggap enak. Bahkan tidak jarang sebelum berangkat sudah ditandai mana-mana yang bawa makanan enak. Padahal enak tidaknya itu bukan persoalan penting, kebersamaanlah yang membuat semuanya seolah nikmat.


Inilah yang sebenarnya dibutuhkan. Kebersamaan. Meskipun kebersamaan seperti ini tidak bisa selalu kita jumpai. Tetapi inilah rahmat bulan Maulud. Rahmat bulan kelahiran Rasulullah SAW. Dengan tanpa mendeskritkan bulan-bulan lainnya. Inilah yang sesungguhnya dirindui, dikangeni oleh manusia. Saling berkumpul.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon