Mampir ke Bakmi Jowo Mas Ayu


Sore, setelah mengantar calon istri ke bandara Ahmad Yani Semarang, aku putuskan untuk balik ke Purwodadi. Awan mendung datang tiba-tiba menghiasi langit. Hujan tinggal menunggu waktu. Dan benar saja, belum jauh keluar dari bandara, hujan mengguyur deras kota lumpia. Tiba-tiba perut berontak minta diisi. Aku putuskan untuk mampir ke suatu tempat. Dulu sewaktu masih kuliah dan merantau di Semarang, tempat yang akan kutuju ini adalah tempat makan langgananku.
Kurang lebih 15 menit, akhirnya aku sampai di tempat tersebut. Bakmi Jowo Mas Ayu. Letaknya di Jalan Musi Raya.
Suasana warung tidak begitu ramai saat aku tiba. Terlihat dua pria beda generasi sedang sibuk memasak di atas tungku. Keadaan warung masih sama seperti beberapa tahun lalu. Hanya spanduk di depan warung yang diganti. Lebih cerah dan berwarna.


Spanduk depan warung Bakmi Jowo Mas Ayu
Spanduk depan warung Bakmi Jowo Mas Ayu | © Dwi Andri Yatmo

“Oalah Mas Andre. Lama tidak kelihatan Mas!” sapa salah satu pria muda. Namanya Ucil. Asalnya dari Wonosobo. Salah satu karyawan di warung bakmi ini.
Aku hanya tersenyum. Mencari tempat duduk.
Saat akan duduk, tiba-tiba ada suara yang familiar terdengar lagi.
“Oalah kamu to Ndre. Ya wes duduk dulu atau buat minum sendiri di belakang,” sapa pria yang juga sibuk memasak tadi. Ya. Beliau Pak Sumardi. Selaku pemilik warung bakmi jowo ini.
Menu sajian warung bakmi jowo di sini cukup bervariasi diantaranya; nasi goreng, nasi ruwet, bakmi goreng, dan bakmi godog. Ada pula tambahan lauk kerupuk, sate ayam, dan kepala ayam. Menu andalanku adalah Nasi Ruwet Godog; nasi (goreng) ruwet diberi kuah pedas.
Di dalam juga disediakan televisi sebagai hiburan, sebagai penghilang bosan bagi pelanggan yang sedang menunggu pesanan ketika warung sedang ramai-ramainya.
“Sehat Ndre?” ucap Pak Sumardi yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Alhamdulillah baik Pak,” jawabku sembari bersalaman.
Pak Sumardi sudah aku anggap sebagai bapak ketika merantau di Semarang dulu.
“Ini dimakan. Masih suka pedas to?” sambungnya menyerahkan sepiring bakmi godog.


Bakmi Godog Warung Bakmi Jowo Mas Ayu
Bakmi Godog Warung Bakmi Jowo Mas Ayu | © Dwi Andri Yatmo
Semangkuk Cabai Rawit yang disediakan di tiap meja Warung Bakmi Jowo Mas Ayu
Semangkuk Cabai Rawit yang disediakan di tiap meja Warung Bakmi Jowo Mas Ayu | © Dwi Andri Yatmo

Malam itu hujan masih belum reda. Namun tidak menyurutkan orang-orang untuk datang membeli. Biasanya ketika pembeli memesan akan langsung ditanyai pedas atau tidak? Pakai telur atau tidak? Sudah mencari ciri khas beliau (Pak Sumardi) dan diajarkan kepada para karyawannya.
Jika dirasa rasa pedasnya masih kurang. Tenang, di setiap meja disediakan semangkuk cabai rawit yang siap dinikmati.
“Kok cuma satu orang Pak yang membantu?”
“Gak apa-apa. Banyak karyawan malah bingung ngaturnya. Susah sekali diarahkan untuk kebaikan mereka juga. Padahal kerja di sini ya gak otoriter lho. Bonus kalau warung ramai juga ada. Gaji bulanan ada. Makan, minum, dan rokok juga diberi.” pak Sumardi menjawab.
Pak Sumardi ini asli Sukoharjo. Bu Sumardi (istrinya) juga sama. Mereka berdua merintis usaha bakmi jowo sudah puluhan tahun di Semarang. Mulai dari pakai gerobak keliling hingga akhirnya menetap di warung ini yang disulap juga menjadi rumah di lantai dua. Belum lagi usaha kos-kosan yang tidak jauh dari warung. Itu semua adalah jerih payah, hasil dari berjualan bakmi jowo. Seperti karakter orang Solo, meskipun perawakannya yang sangar dan cenderung menakutkan, Pak Sumardi ini justru grapyak dan sumehkepada semua orang.
“Kenapa sih Pak pakai nama “Mas Ayu”?
“Kan Mas itu maskulin pak. Sambungannya Ayu lagi.”
Itulah pertanyaan yang sudah lama ingin aku tanyakan kepada beliau.
“Itu sebenarnya dari bahasa Jepang, Masayu. Yang memiliki arti; menguntungkan dunia. Atau memberikan rejeki yang berkah dan barokah. Biar terlihat lebih njawani, makanya saya pecah menjadi Mas Ayu.”
Ada doa di dalam pemilihan nama warung ini. Pak Sumardi —yang katanya tidak sekolah tinggi tersebut— dapat membungkusnya seolah hanya kalimat biasa dan tidak ada artinya. Itulah hakiki sebuah doa. Tanpa perlu orang lain tahu. Tak bermaksud be-riya’. Biarlah hanya dia dan Tuhan yang tahu.


Pak Sumardi, pemilik Warung Bakmi Jowo Mas Ayu
Pak Sumardi, pemilik Warung Bakmi Jowo Mas Ayu. | © Dwi Andri Yatmo

“Pak sudah. Bakmi dua, kerupuk satu, sate dua, es teh dua.” Seorang pelanggan berdiri hendak membayar.
“Bakminya pake telur atau tidak, Mas?” balas Pak Sumardi.
Mboten, Pak!”
“Bakmi dua 14 ribu, sama sate dua jadinya 18 ribu, es teh dua jadinya 22 ribu. Kerupuknya seribu.”
Harga menu di sini masih tetap sama. Tidak ada yang berbeda. Untuk sajian makanan tanpa telur dihargai 7 ribu sedangkan kalau pakai telur jadi 9 ribu. Sate ayam harganya 2 ribu per tusuk dan kerupuk seribu rupiah. Murah! Kalau kalian sedang dompet tipis ingin mengajak pacar makan di malam minggu datang saja ke sini.
Salah satu kebiasaan yang tidak pernah hilang dari Pak Sumardi: selalu memberi lebih. Apalagi untuk tetangga yang biasa membeli di sini. Pasti diberi lebih, baik itu diberi tambahan sate ayam, kerupuk, es teh, atau teh anget. Bahkan tak jarang menggratiskan makanannya.
Mengenai kebiasaan memberinya tersebut dulu pernah aku tanyakan secara langsung. Apa tidak merasa rugi?
“Saya bersyukur sudah diberikan rejeki yang banyak oleh Allah dari sini. Dengan memberi kepada sesama itu juga bentuk syukur saya kepada rejeki yang diberikan-Nya. Masalah rugi atau tidak, itu urusan belakangan. Jangan pernah sekali-kali perhitungan dalam hal bersedekah,” jelas Pak Sumardi.
Alhamdulillah, beberapa bulan kemarin Pak Sumardi diberi momongan seorang putri. Meski melihat usianya seharusnya Pak Sumardi sudah memiliki anak perawan. Tetapi tidak jadi soal, karena menurutnya bukan masalah waktunya. Tetapi masalah kesiapan hati untuk menerima rejeki diberi tanggung jawab seorang anak. Kalian tahu nama anak pertamanya? Masayu Nur Alifa. Kata “Masayu” disematkan, tidak lain tidak bukan untuk mengharapkan berkah dari putri tersebut kelak di kemudian hari.
Masih ingin rasanya bercengkerama dengan beliau, tapi melihat jam dinding yang tersemat di warung menunjukkan sudah pukul 9 malam, mengharuskanku untuk menyudahi silaturahmi ini. Hujan juga sudah sedikit reda. Perjalanan dua jam ke Purwodadi sudah menanti.
“Pak saya pamit dulu sudah malam. Harus balik lagi ke Purwodadi. Tadi bakmi godog, es teh, sama dua sate ayam,” ujarku sembari berpamitan.
“Sudah tidak usah. Salam saja buat Bapak dan Ibumu di rumah.”

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon