Kalau ada kontes nama
terpendek, mungkin dialah pemenangnya. Bagaimana tidak? Namanya hanya satu
huruf saja. Tidak ada tambahan tedeng
aling-aling. Kalau pun panjang karena ada tambahan bin nama ayahnya kelak
di buku nikah. Entah maksudnya apa sehingga bapak dan ibunya memberikan nama
segitu singkatnya. Jangan berpikir karena terinspirasi anime atau manga Death
Note. Lha wong, nonton kartun
saja orangtuanya tidak pernah. Mentok ya nonton Doraemon di tv tiap
minggu pagi.
L lahir di keluarga yang
cukup berada. Berada di bumi salah satunya. Bukan, bukan. Berada dalam artian
mampu dan lumayan kaya. Apapun yang dia inginkan pasti terpenuhi. Handphone? Terbaru dari yang dimiliki
teman sebayanya. Laptop? Tercanggih pada saat itu. Motor? Varian yang paling
baru rilisnya. Uang? Ah kalau ini jangan kalian perdebatkan. Tak elok rasanya
membicarakan nominal kepada seseorang yang lebih suka memakai debit daripada cash. Pacar? Ini yang menjadi sedikit
persoalan. Dari semua unsur duniawi yang dipunyainya, tak ada satupun perempuan
yang meliriknya. Kasihan, kasihan, sungguh kasihan.
Mungkin dia memang alim
sehingga tidak mau pacaran? Ah, tidak ada di dalam wajahnya yang sedikit
kecokelatan tetapi lebih menjurus ke hitam itu.
Tetapi sebentar, ketika
SMA ada seorang perempuan yang aduhai tomboinya. Sebut saja inisialnya D,
wanita berkacamata tersebut. Mereka didekatkan karena satu kelompok sandiwara
cinta, eh, kelas. Benih-benih cinta, saya yakin sebatas cinta monyet, mulai
tersemai seiring latihan drama selepas pulang sekolah. Apalagi alur dramanya
menceritakan mereka pasangan kekasih yang memperjuangkan cinta karena ditentang
salah satu keluarga. Sinetron atau FTV banget.
Bedebah sekali pembuat
skenario tersebut, runtuk L. Terima kasih guys,
yuk tak traktir di kantin.
*****
Tetapi kisah kasih di
sekolah tersebut harus benar-benar usai. Dikarenakan mereka tidak seprinsip
lagi dalam hal asmara. Buset dah. Ditunjang juga karena mereka akan berpisah
lantaran kuliah di kota berbeda. Si D tidak terima karena harus LDR.
“Sepertinya hubungan kita
harus berakhir sampai di sini, L?” ujar D tanpa wajah sedih atau nelangsa karena harus putus. Pacar macam
apa ini.
“Kenapa D?” jawab L
yang berusaha mempertahankan.
“Aku tidak bisa jika
harus LDR gini, L. Aku pengen kamu selalu ada di sampingku. Tetapi jarak
memisahkan kita. Aku tuh gak bisa diginiin, L!” masih dengan ekspresi
dingin.
“Bukankah kita masih bisa
bertemu seminggu sekali. Kalau ada liburan kita juga bisa bersua. Bagaimana
kalau aku juga pindah kuliah di sana?” segala jurus dikeluarkan L.
D hanya menggeleng. Tentu
tidak mungkin karena minggu depan sudah aktif masuk.
“Bagaimana kalau kita
menikah?” keluar juga pertanyaan yang entah spontan, uhui, atau sudah
dipikir masak-masak itu.
D masih menggeleng. “Aku
belum siap nikah!”
Ooo
uasu tenan. Diajak nikah gak
gelem tapi pengene bareng, batin L. Tidak sampai hati dia melontarkan
umpatan kepada perempuan yang disayanginya itu. Walaupun memang pantas kalau
dipikir-pikir.
Dialog tersebut menemui
jalan buntu. D masih teguh meminta putus meski L berusaha mencari pelbagai
solusi. Tetapi semuanya tidak ada artinya di mata D. L tertunduk lesu. Tidak
pernah terbayang di benak pikirannya kalau percintaanya tidak sesuai skenario
drama SMA dulu. Ciihh, sandiwara
kok disamakan realita. Mikir Bung!!
Maka keputusan secara
sepihak diambil. D memutuskan mengakhiri hubungan kurang lebih 2 tahun itu.
Apakah L patah hati? Pertanyaan retoris. Apakah D juga sama? Tak tahu pasti.
Entah hatinya terbuat dari batu atau apa, kok ada semacam senyum kebahagian
tersimpul. Kasihan L, kasihan, kasihan. Wanita macam apa yang kau perjuangkan
itu! Bedebah bukan?
*****
Patah hati semakin
membuat L tegar dan kuat. Cukup sudah baginya sedih-sedih ria jikalau harus
putus dengan seorang pacar. Kendi, tempat air minum orang kampung, semakin kuat
dan kokoh karena dibakar terus menerus. Apakah hati L demikian adanya? Kuat dan
kokoh karena sering disakiti wanita? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Terutama
wanita yang dianggapnya sebagai cinta pertamanya dulu.
Semasa kuliah, dia
berubah bak cassanova. Sudah beberapa kali menjalin hubungan. Dan semuanya
kandas. Tetapi itu semua tidak dia ratapi. Putus ya putus. Sekarang prinsipnya
berganti haluan, ”tujuan sebuah pacaran adalah putus”. Filsafat apa yang
membentukmu seperti itu L?
Mulai dari seorang calon
perawat. Kandas. Sama adik angkatan yang dipertemukan di jagat chatting. Putus. Dengan teman sekampus.
Juga sama, karam. Sama teman SMA dulu tetapi beda jurusan. Endingnya tidak jauh beda. Tetapi ada
hal menarik dari kisah terakhir tersebut.
Sebut saja namanya N. L
bertemu dengannya lantaran tidak sengaja N meminta bantuan. Kebetulan mereka
kuliah di kota yang sama. Mulai dari itulah komunikasi semakin terjalin.
Apalagi status mereka yang sama-sama jomblo. Sekadar menemani makan di luar.
Mudik bareng, berangkat juga iya. Dari situlah L merasakan nyaman. Tetapi tidak
lantas terburu-buru menyatakan perasaan. Tak elok rasanya dengan waktu yang
sesingkat ini. Rupanya L melupakan kaidah cinta yang mengatakan cinta bisa
muncul sepersekian detik ketika pandangan pertama. Nikmat mana yang kau
dustakan L?
Hari bahagia itupun
datang. Sudah tak mampu rasanya L membendung luapan cintanya kepada N. Gayung
pun bersambut. N juga memendam rasa yang sama. Rasa itu muncul kembali. Rasa
yang dulu dia rasakan ketika dengan D. Apakah
memang N jodohku, ya Allah? Dia sisipkan kalimat tersebut dalam setiap
doanya. Ending drama sewaktu SMA
apakah harus aku lalui dengan N? Terkadang L senyum-senyum sendiri
jika membayangkannya.
Bulan berganti bulan,
membuat L yakin akan pilihannya itu. Maka diutarakan niatan suci tersebut
kepada ibunda tercinta. Meminta restu agakanya si L ini.
“Bu..”
“Yo, Le. Enek opo? Sajake
anak jokone ibu iki lagi dilema. Ngomong karo ibu Le!”
Itulah ikatan batin
seorang ibu terhadap anaknya. Terkadang weruh
sak durunge winarah. Tahu kalau anaknya sedang gusar akan suatu masalah.
Kalau ibu kalian tidak peka seperti itu, berarti itu bukan ibu kalian tetapi
tetanggamu.
“Ngeten Bu. Kulo kok
kaleh N sansoyo sreg nggih. Nggih boten nopo-nopo, sak umpami kulo nembung N
dados bojone kulo pripun? Hehehe,” ujar L sembari tersenyum malu di hadapan
ibunya itu.
“Oalah, jokone Bu e wis
kepengen nikah to. Bapak karo ibu manut kowe wae Le. Wis mbok takoni durung
bocahe? Nak iyo bapak ibu lakyo siap sowan keluargane,” ujar ibu dengan
menguyel-uyel rambut anak sulungnya.
“Dereng Bu. Mangke kulo
pastike riyen. Suwun nggih Bu!” pamit L meminta ijin mencium tangan orang yang
melahirkan, menyusui dan merawatnya itu.
*****
Selang beberapa hari, L
meminta makan malam dengan N. Ijin
sudah dikantongi dari kedua orangtua. Beberapa hari lalu bapaknya berbicara
dengannya meminta penjelasan atas apa yang diutarakan kepada ibunda. Intinya
sama, bapaknya hanya memastikan apakah memang sudah siap dan meminta dengan
segera lulus dahulu. Inilah salah satu hari bersejarah di dalam hidupnya selain
hari kelahirannya. Tidak lupa L menyiapkan sesuatu spesial.
“Maaf ya telat dikit Beb,
tadi sedikit macet, hihihi!”
“Sejak kapan kota P
macet, Beb!” balas N tidak mempermasalah.
Makan
malam romantis pun berlangsung. Diselingi tawa di antara
mereka berdua atas lelucon L. Bisa melucu juga kau L? Dan sudah saatnya tiba.
“Beb, ada yang mau aku
omongin!”
“Apa Beb? Sok atuh….”
Eeemmm, heeeemmm, mencoba
membuang grogi.
“Beb, aku tahu hubungan
kita baru seumur jagung. Tetapi selama ini aku merasakan nyaman.
Dan….eeeeemmmmm…..aku ingin mengajak ke hubungan yang serius…”
Hoooooeeeekkk, N sedikit
tersedak mendengar perkataan pacar di depannya. L berusaha membantu memberikan
air minum. N memberikan kode tidak apa-apa dan meminta L melanjutkan.
“Jadi intinya aku ingin
mengajak menikah. Kalau iya, bapak dan ibu siap datang ke rumah. Bagaimana Beb?
Mau kan?” ujar L sembari merogoh sesuatu di saku celananya.
Hening. N masih diam. L
masih menunggu jawaban yang sudah ditunggu-tunggu.
“Eeemmmm…gimana ya Beb!
Aku kok belum berpikir sampai ke situ. Aku masih pingin berkarir dulu. Maaf ya Beb,
kita jalani saja dulu bagaimana?”
L diam seribu bahasa. Dia
tidak menginginkan jawaban seperti itu. Dia ingin mendengar N menjawab, ”Iya
Beb, aku mau. Mau. Kapan kita nikah? Kapan bapak ibu ke rumah?” Tetapi itu
hanya dalam angan-angan saja.
“Beb….Beb…tidak apa-apa
kan?” N berusaha membangunkan L dari lamunannya.
“Tidak apa-apa kok Beb.
Mungkin aku saja yang terlalu cepat dan buru-buru,” L menyalahkan dirinya
sendiri.
L pulang dengan gontai.
Ibunda sudah menunggu di kursi teras rumah. Tanpa berkata pun seorang ibu sudah
mengetahui apa yang terjadi pada anaknya. L bersimpuh di pangkuan ibunda.
Meminta tempat pijakan dan naungan untuk menumpahkan semua di dalam hati.
Ibunya tidak berkata apa-apa hanya tangan lembutnya mengusap rambut ikal
anaknya. Tidak ada airmata yang keluar, yang menangis adalah hatinya. Pria
pantang menangis dalam hal asmara, prinsip kedua yang dipegang L.
Badjingan. Biasanya
wanita yang nguber-uber meminta dinikahi. Lha ini? Sudah tak tawari nikah.
Ealah ladalah jagat batara, malah ditolak. Wanita uasu.
*****
Karena kesibukan
masing-masing intens komunikasi hanya sebatas via sms, chatting dan telepon. Setelah tragedi makan malam itu, L lagi-lagi
belajar ilmu kehidupan. Jangan mengajak menikah wanita yang labil atau ababil.
Meski begitu hubungannya dengan N masih berlanjut walau pesimis tujuan akhir
apa yang ingin mereka perjuangkan. Walau di dalam sudut hatinya tetap
mengharapkan waktu itu akan datang, entah kapan itu terjadi. Tidak apa-apa kan
berharap meski tahu peluangnya 1:1.000.
“Mending langsung nembung
ibu e to! Kowe ki kok ra mudengan!” ejek S sahabat L mendengar cerita konyol
tersebut.
“Wedokan kucluk. Dijak
kawin kok ra gelem. Pekok tenan. Aku wae ditakoni kapan nglamar aku, Mas.
Glagapan jawabe piye, hahaha,” sahut A menimpali.
Ketiga sahabat tersebut
tertawa. Menertawakan salah satu bab kehidupan yang terkadang tidak sesuai
dengan rencana.
“Uasu kowe. Daripada
kowe. Reti nak pacarmu ngajak serius malah mbok tinggalke. Kowe pacaran lakwis
mbi L. Cocok. Sijine ninggal, sijine ditinggal, wkwkwk,” balas A tak mau kalah
argumen.
“Prei gowo dowo aku,”
tangkas L menjawab guyonan dua sahabatnya itu.
“Rupamu malah ditinggal
nikah, hahaha,” sambung S tidak mau kalah.
Lagi-lagi mereka tertawa.
*****
Pucuk dicinta, ulam pun
tiba. Tiba-tiba si N mengajak makan malam setelah sekian lama tidak bertegur
sapa. Entah karena kesibukan yang benar sibuk atau sekadar sok sibuk. Gerangan
apakah yang menggerakkan N mengajak bertemu? Mengajak putus karena sudah
antipati satu sama lain?
“Gimana punya kabar Beb,
eh, N?”
“Alhamdulillah baik Beb.
Panggil Beb tidak apa-apa kok. Lama tak bertatap muka, kok kamu semakin ganteng
saja Beb!” puji N kepada L di depannya.
Ingin rasanya L berbalik
badan mendengar pujian pacarnya. Hueeeeekk, jangkrik gombal mukiyo.
“Beb….masih ingat dulu
yang kamu bicarakan pas makan malam dulu?” N berusaha membawa ingatan ke masa
lalu. L mengangguk. Kok sudah dua makan malam tidak pernah ada adegan makan ya?
“Setelah aku pikir-pikir
lagi Beb, aku merasa bersalah karena menolak ajakan menikah dulu. Dan sekarang
Beb, aku sudah siap untuk kamu nikahi….”
Seperti mendapat durian
runtuh. Ketiban bulan ndaru, kalau
orang Jawa umpamakan. Mata L berbinar-binar. Ingin rasanya dia menangis
mendengar kata N barusan. Dadanya meletup-letup. Inilah yang dia harapkan makan
malam dulu. Akhirnya datang juga hari bersejarah tersebut. Duh gusti,
alhamdulillah Engkau berikan kesempatan ini.
Dia pun merogoh sesuatu
di saku celananya. Dan berjalan menuju kursi N. Berdiri di belakang N hendak
memeluknya. N memejamkan matanya. Menunggu sureprise
yang akan diberikan kekasihnya, L. L pun membisikkan kalimat di telinga N.
“Seseorang tidak akan
pernah jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Pantang bagiku, Hayati.
Terima kasih ajakannya. Dan terakhir aku hanya ingin berkata, asuuuu.”
Bukan kalimat romantis
yang keluar melainkan kekesalan. N membuka mata dan terpaku di tempat duduknya.
L mengeluarkan sesuatu di sakunya. Selembar uang Soekarno-Hatta dia letakkan
tepat di depan N.
“Buat bayar makan
malam malam ini.”
L beranjak keluar dari
tempat makan tersebut. Bukan main plong rasanya
di dalam hati. Dan tersungging senyum di pojok bibirnya. Arahan sahabatnya S
biar tetap terlihat cool meski sudah melakukan sebuah perbuatan badjingan.
Perbuatan badjingan hanya
bisa dibalas dengan badjingan juga.
NB:
kalau ada kesamaan cerita atau peristiwa jangan menyalahkan penulis. Karena
memang telah disengaja, hahaha.
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon