Kau bertanya, ‘Itu apa?’
Sembari menunjuk hamparan tanah yang gersang.
‘Itu sawah!’ Jawabku menimpali.
‘Itu apa?’ Tanyamu lagi menunjuk benda dengan besi pipih dan ada tongkatnya.
‘Itu apa?’ Tanyamu lagi menunjuk benda dengan besi pipih dan ada tongkatnya.
‘Itu cangkul!’
‘Untuk apa?’ Tanyamu lagi.
‘Untuk mengolah dan menggarap sawah!’
Kamu diam melihat
lekat-lekat benda yang aku yakin jarang ditemui saat ini.
‘Itu sebelah cangkul
apa?’ Agaknya rasa ingin tahumu sangatlah besar. Mengingatkanku akan seseorang,
persis sepertimu.
Jarimu menunjuk sebuah onggokan besi yang beroda.
‘Itu traktor. Gunanya untuk mengolah sawah juga. Pengganti cangkul agar
memudahkan pekerjaan!’
Kau mengangguk takjim.
‘Mereka siapa? Dan sedang
apa ke sawah?’
Aaahh, matamu ternyata jeli dan lincah ketika menyibak hamparan sawah nan
tandus ini.
‘Mereka petani. Orang yang mengolah sawah dan menggarapkannya.’
‘Kenapa sawah perlu
digarap!’
‘Agar bisa menghasilkan padi, jagung dan hasil bumi lainnya. Kemudian diolah
menjadi beras. Seperti yang kita makan selama ini.’
Kau diam lagi. Walau saya yakin masih banyak pertanyaan-pertanyaan di kepalamu.
‘Bukankah kita membeli
beras di supermarket? Bukan di petani itu. Kenapa mereka harus bekerja di sawah
segala.’
Aku hanya tersenyum. Mengusap rambutmu.
‘Kalau petani tidak menanam padi. Kita semua tidak bisa makan. Itulah mulianya
para petani. Jerih payahnya memberikan keberlangsungan hidup untuk banyak
orang. Walau mereka sendiri serba kekurangan.’
‘Kenapa mereka bisa
kekurangan?’
Aku terhenyak sebentar mencerna pertanyaanmu itu.
‘Karena hasil jerih payah mereka tidak sebanding dengan hasil yang mereka
peroleh.’
‘Kalau mereka rugi kenapa
tidak kerja yang lain saja?’
Lagi-lagi kamu membuatku sejenak menikmati view sawah dan berpikir nan
merenung.
‘Kita hidup di dunia ini memiliki peran masing-masing. Peran mereka adalah
petani. Menghasilkan padi dan hasil bumi lainnya. Dan peran sebagian lagi
adalah sebagai konsumen penikmat hasil mereka. Mereka tahu peran dan fungsi
sebagai petani. Mereka tahu dan paham sangat. Sehingga tidak ada niatan untuk
berhenti atau berputus asa. Itulah makna mereka.’
‘Apakah kakek dulu juga
seorang petani?’
‘Ya. Kakek nenekmu dulu adalah seorang petani. Yang tidak pernah putus asa dan
menyerah meski hasil panen dari tahun ke tahun selalu menurun. Petani itu
mulia, Nak! Jangan pernah malu sebagai anak petani!’ Sekali lagi aku mengusap
rambutmu.
Semburat jingga terpapar
di langit barat. Senja menyapa. Malam menyambut. Sayup-sayup aku dengar ibumu
memanggil untuk masuk dan makam malam.
Ya. Aku anak seorang
petani. Tak pernah aku sedikitmu malu mengakuinya. Setiap pekerjaan akan mulia
jika kita melakukannya dengan hati. Dan juga halal tentunya.
Monggo nak selo podo komentar..... EmoticonEmoticon